Jumat, 04 September 2009

Gugah Eksistensi Menulis Akademisi





Menggugah Eksistensi Menulis di Kalangan Akademisi*

Pendahuluan

“Menulis karya ilmiah populer di surat kabar tidak kalah pentingnya dengan menulis jurnal ilmiah atau buku,” demikian diungkapkan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, seorang akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Dipengoro, Semarang yang tak kurang dari 33 tahun menulis artikel di berbagai media massa.
Prof. Dr. F.G. Winarno, Guru Besar IPB berusia 64 tahun, mampu menulis 50 judul buku hanya dalam waktu 4 bulan, artinya per judul buku diselesaikannya rata-rata 2,5 hari. Berkat ‘kerajinannya’ menulis berbagai penghargaan diperolehnya. Salah satunya Award Follow International Academy Of Food Science and Technology yang merupakan pengukuhannya sebagai ahli pangan terkemuka di dunia pada 4 Oktober 1999.
Media massa sesungguhnya memang memberikan peluang kepada akademisi untuk menuangkan pemikirannya di halaman opini. Itu karena kapabilitas dan otoritas ini dimiliki oleh para dosen, para peneliti, dan akademisi lainnya. Dengan kapasitas ilmu yang dimiliki, mereka diharapkan mampu menuliskan berbagai gagasan dan informasi/pengetahuan yang bermanfaat dan mencerdaskan. Selain enak dibaca, juga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Keterbatasan wartawan terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan adalah hal yang wajar dan untuk memenuhi kekurangan itu, kalangan akademisilah yang mestinya banyak ‘turun gunung’. Kalaupun tempatnya terbatas, kini di era globalisasi, internet menyediakan peluang lebih besar melalui blog. Di seluruh dunia dalam sehari sedikitnya ada 75.000 blog baru muncul.
Gambaran di atas memberikan ilustrasi betapa pentingnya tradisi menulis itu bagi kalangan akademisi. Dan media massa telah memberikan kesempatan. Sayangnya, fakta yang ada ternyata hanya segelintir akademisi yang berkenan memanfaatkannya. Padahal, manfaat menulis itu cukup banyak. Makalah ini mencoba memberikan ‘sentilan’ agar para akademisi dapat menyadari pentingnya menulis.

Tradisi Menulis
Kalangan akademisi diharapkan memberikan kontribusi bagi perkembangan dan dinamika kehidupan. Tradisi meneliti, mengembangkan pengetahuan, serta memecahkan persoalan merupakan aktivitas yang tak pernah ‘kering’ dalam lingkungan akademisi.
Salah satu tanggung jawab penting akademisi sebagai intelektual dan profesional adalah menyebarluaskan pengetahuan, sehingga masyarakat tercerahkan. Dewasa ini masyarakat telah menjadikan surat kabar sebagai salah satu sumber informasi sekaligus rujukan opini penting setiap hari.
“Oleh karena itu, kaum intelektual sudah semestinya memerankan diri sebagai Intelektual Publik, yang bisa menulis tidak hanya di jurnal-jurnal ilmiah, melainkan juga aktif menulis berbagai pandangan, pembaharuan, gagasan, pengalaman dan pengetahuannya di media-media massa,” tulis Budhiana Kartawijaya, redaktur opini Harian Pikiran Rakyat.
Berbagai media-massa, menurutnya, sangat membutuhkan kontribusi para Intelektual Publik ini, sebab umumnya media massa tidak memiliki kapabilitas dan otoritas yang memadai untuk memenuhi harapan publik terhadap informasi dan gagasan keilmuan. Justru kapabilitas dan otoritas ini dimiliki oleh para dosen, para peneliti, dan akademisi lainnya. Dengan kapasitas ilmu yang dimiliki, mereka diharapkan mampu menuliskan berbagai gagasan dan informasi/pengetahuan yang bermanfaat dan mencerdaskan. Selain enak dibaca, juga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Tingkat achievement yang dianggap paling tinggi saat ini adalah membagi ilmu dan pengalaman yang kita miliki kepada orang lain? Dengan menulis pula para akademisi dapat mengembangkan kemampuan berpikir dinamis, kemampuan analitis dan kemampuan membedakan berbagai hal secara akurat dan valid. Menulis pun akan meningkatkan rasa percaya diri. Lalu rasa percaya diri inilah yang akan memunculkan berbagai kreativitas dan rasa bahagia.
Mengapa ilmuwan paling hebat sekalipun harus menulis ilmiah populer? Sebab ia butuh orang awam untuk memahami ide dan studinya. Andai Albert Einstein masih hidup, pastinya beliau setuju dengan ide ini.

Ilmiah vs Populer
Kalangan ilmuwan atau akademisi sudah terbiasa dengan penulisan ilmiah. Tulisan jenis ini membutuhkan banyak referensi, data, informasi, sesuai dengan metodologi ilmiah yang dikenal dalam ranah keilmuwan. Tulisan jenis ini dibuat untuk dimuat dalam jurnal ilmiah, proposal pengajuan dana untuk riset, atau pemaparan hasil riset demi membuahkan persetujuan studi lanjutan oleh pimpinan institusi ilmuwan yang bersangkutan. Untuk kalangan mahasiswa, penulisan ilmiah juga dilakukan untuk membuat laporan laboratorium.
Sedangkan penulisan ilmiah populer ditujukan bagi media yang lebih luas cakupannya, seperti majalah ilmiah populer, surat kabar yang memiliki rubrik khusus sains dan teknologi, atau website sejenis. Tujuannya untuk membagi hasil riset atau studi atau sekadar opini mengenai suatu isu ilmiah kepada khalayak pembaca yang lebih luas dari sekadar komunitas sesama ilmuwan atau instansinya.
Walau berbeda sasaran, sesungguhnya penulisan ilmiah atau ilmiah populer sama-sama memiliki satu gol, yakni menghadirkan data atau ide secara detail sehingga pembaca mampu mengevaluasi validitas dan mengambil kesimpulan dari tulisan tersebut.
Jadi bisa dikatakan, keduanya memiliki pesyaratan yang sama pula, yaitu mudah dipahami oleh pembacanya. Karena pembacanya berbeda, yakni antara yang sesama ilmuwan di bidangnya dan publik umum, maka bahasa yang dipakai pun haruslah berbeda.
Melalui tulisannya, akademisi memberikan masukan kepada pembaca. Masyarakat mengharapkan masukan-masukan itu untuk bisa dijadikan dasar dan landasan berpijak dalam kehidupan. Caranya, tentu saja melalui publikasi buah pikiran kalangan akademisi melalui media, baik tulisan ataupun lisan.
Media yang paling bisa dipercaya menyalurkan hasil pemikiran akademisi adalah tulisan. Entah itu melalui jurnal, buku, ataupun media populer.
Tanpa itu, maka ‘pengetahuan dan pemikiran ilmiah hanya mengendap di kalangan sendiri. Terkungkung bagai makanan di lemari. Berbeda jika makanan itu disajikan, tentu akan menarik minat orang untuk menikmatinya.







Pikiran, tenaga, dana yang digunakan dan dihabiskan kalangan akademisi tentunya tak sedikit. Akan sia-sia kalau hasil yang mestinya bisa dimanfaatkan itu ternyata hanya mengendap dan ‘nyangkut’ di tataran terbatas.
Jurnal, bisa dijadikan media bagi akademisi menuangkan pikirannya. Tetapi, tentu saja lingkupnya terbatas. Media massa, memberikan peluang bagi akademisi untuk menyampaikan buah pikiran lebih luas. Banyak media massa yang memberikan peluang itu. Baik itu majalah, surat kabar harian, ataupun mingguan, termasuk tabloid.
“Tulisan di media massa tentang bidang yang kita kuasai, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat Indonesia masih haus pengetahuan dari orang yang memang menguasai bidang itu. Keterbatasan wartawan terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan adalah hal yang wajar,” tulis Rizaldi Pinzon, dosen Universitas Gunadarma yang aktif menulis di berbagai media.
Untuk itulah para akademisi atau ilmuwan harus sering-sering ”turun ke bumi”. Jangan hanya menulis di seminar ilmiah atau jurnal ilmiah. Tapi juga harus menulis ke media massa yang dibaca masyarakat umum. Memang terkadang kurang bergengsi bagi seorang ilmuwan-akademisi menulis di majalah populer. Terasa lebih keren kalau menulis di seminar ilmiah.
Padahal, tidak sedikit kemudian, para penulis akademis justru bisa menjadi memiliki kum dibanding rekan-rekan mereka yang hanya menyimpan hasil penelitian dan pemikirannya dalam laptop mereka atau buku-buku yang mereka cetak.

Masih Sedikit
Sayangnya, memang jumlah mereka ini masih sangat sedikit. Artinya, memang tradisi menulis belum menjadi bagian yang harusnya menjadi kewajiban. Banyak kalangan akademisi masih belum bersedia dan tidak mau mencoba membagi kemampuannya untuk kepentingan yang lebih luas.
Sekadar ilustrasi saja, di Sumsel sedikitnya ada empat media harian yang menyediakan space untuk kalangan akademis menuangkan dan menyumbangkan pemikiran dalam memecahkan berbagai persoalan yang aktual. Sesuai dengan cabang ilmu dan keahliannya.
Sebut saja, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Berita Pagi, Palembang Ekspres. Belum lagi media yang terbitnya mingguan seperti Tabloid Desa atau Agung Post.
Fakta yang ada, menurut Pimpinan Redaksi Sumatera Ekspres, H Mahmud, dalam sebulan tulisan yang masuk ke redaksi dibawah angka 20 tulisan. Itupun terkadang masih harus dikembalikan dan dikontak ulang untuk mendapatkan tulisan yang layak muat. Memang, diakuinya, tulisan ilmiah populer tentu saja berbeda dengan tulisan ilmiah tok. Tulisan ilmiah populer merupakan upaya bagaimana menjadikan kajian ilmiah disajikan dengan bahasa yang menarik dan mudah dipahami.
Hal yang sama dikemukakan Redaktur Pelaksana Berita Pagi, Firdaus Komar. Justru terkadang tulisan yang masuk banyak dari kalangan di luar akademisi.
Jika dinilai memadai, dalam arti ada persoalan yang aktual, pembahasan jelas dan memberikan jalan keluar, tulisan itu dimuat. Apalagi, media memang terkadang tidak melihat siapa yang menulis, Tetapi, apa yang ditulis. Terkadang justru penulis otodidak memang bahasanya dan analisisnya mungkin saja tidak kalah dengan mereka yang datang dari kalangan akademisi.
Meskipun sesungguhnya, kalangan akademisi justru punya potensi untuk menghasilkan tulisan yang bernas. Tinggal memolesnya supaya lebih menarik dan memberikan aroma yang indah.
Hitung saja, berapa jumlah akademisi dari puluhan perguruan tinggi di Sumatera Selatan. Lalu, bandingkan dengan nama-nama yang kemudian sering muncul di media massa. Sesungguhnya akademisi itu tidak hanya kalangan dosen, tetapi mahasiswa yang sedang menuntut ilmu pun, baik di strata satu maupun strata 2 juga merupakan akademisi. Yang bisa memberikan jalan alternatif terhadap berbagai persoalan masyarakat.
Contoh saja, persoalan menyangkut bahasa Indonesia. Bagaimana bisa mengharapkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kalau tulisan tentang bahasa Indonesia sendiri amat jarang didapatkan di media massa. Sesungguhnya, dari media massa masyarakat biasanya akan mudah menyerap masukan tentang persoalan yang dihadapi. Kaidah-kaidah bahasa yang dilanggar, lalu bagaimana alternatif penggunaan yanfg semestinya, tentunya tidak akan bisa dengan mudah didapatkan masyarakat dari buku-buku yang biasanya harganya mahal dan hanya menjadi hiasan rak-rak toko buku.

Profesor Populer
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH (78), guru besar sosiologi hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, salah satu akademisi yang percaya bahwa menulis karya ilmiah populer di suratkabar tidak kalah pentingnya dengan menulis di jurnal ilmiah atau buku. Ia pun membuktikannya dengan kesetiaan mendalami selama 33 tahun menulis artikel di berbagai suratkabar.
“Saya tidak bisa menulis lagi soal hukum Indonesia, karena tidak bisa mencium aromanya. Aroma itu saya baca dari tulisan-tulisan Anda,” tutur Pak Tjip, mengutip Prof Lev, seorang pengamat Indonesia dari Amerika Serikat yang tidak bisa masuk ke Indonesia di era Soeharto, seperti dikutip dari Kompas Selasa (24/6/2007). “Aroma” itulah, kata Pak Tjip, yang membedakan tulisan ilmiah populer dengan tulisan ilmiah murni di jurnal atau buku.
Pokok pikiran yang hanya tiga-empat baris di tulisan ilmiah murni, bisa menjadi 10 baris di tulisan ilmiah populer. Dengan menulis di surat kabar, akademisi bisa membagi pengetahuannya ke publik yang luas, tidak terbatas seperti pada jurnal ilmiah.
Dengan kemampuannya membuat tulisan ilmiah populer di suratkabar itu Pak Tjip membuktikan, ilmu hukum bukanlah ilmu yang kering dan tidak menarik. Hukum kalau ditulis dari sisi teknis memang tidak menarik, tetapi kalau dilihat dalam hubungan dengan masyarakatnya, hal itu tidak akan ada habis-habisnya. Berbagai macam ide segar menyangkut bidang yang ditekuninya itu ditumpahkannya pula dalam artikel-artikelnya.
Ia bahkan, seperti ditulis Kompas, masih menyimpan dengan rapi tulisan-tulisan artikelnya yang dimuat di harian ini. Ketika ditanya artikel pertamanya di Kompas, ia langsung menunjukkannya.
Selaku Ketua Pusat Studi Hukum dan Masyarakat FH Undip ia menulis artikel “Menyongsong Simposium Hukum dalam Masa Transisi”, yang dimuat 11 Januari 1975. Honor tulisan waktu itu Rp 5.000.
Tulisan itu berisi pemikiran pengantar atas rencana Simposium “Kesadaran Hukum Masyarakat yang sedang Dalam Masa Transisi” 10-22 Januari, kerja sama Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Undip. Itulah artikel yang ditulisnya pertama kali untuk media massa dan langsung dimuat tanpa terlalu editing berarti dari editor opini.
Sejak itu, tulisan demi tulisan meluncur dari pikiran dan ketikan tangannya sendiri. Tahun 1975 itu ia menulis 34 artikel. Namun jumlahnya agak menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1979, misalnya, hanya lima artikel yang ditulisnya untuk Kompas. “Tahun 1975 itu saya lagi seneng-seneng-nya,” ujar alumnus FH Universitas Indonesia tahun 1960 dan doktor hukum Undip tahun 1979 itu.
Hingga sekarang, paling tidak yang tercatat di database Pusat Informasi Kompas dan catatan Pak Tjip, sudah 367 artikel yang ditulisnya. Artikel yang terakhir dimuat Kompas adalah “Kini Saatnya Memunculkan Ketertiban” pada 23 Juni 2008.

Ibarat Buang Air Kecil
Minat terhadap urusan tulis-menulis ini, kata dia, dimulai saat duduk di SMP Pati, Jawa Tengah, tahun 1944-1947. Saat itu suka membuat tulisan tangan di buku tulisnya tentang segala hal yang sedang aktual kala itu. Di buku tulis itu juga ditempel foto-foto, sehingga mirip majalah. “Buku itu laku di kalangan teman-teman saya di sekolah,” tutur pria kelahiran Banyumas 15 Desember 1930 itu seperti dikutip dari Kompas.

Namun, talenta masa kecil itu baru diwujudkan secara serius tahun 1975 saat pertama kali menulis di suratkabar. Mengenai proses kreatifnya, Pak Tjip, memberi ilustrasi, menulis itu seni. Seni itu artinya buang air kecil. Buang air kecil itu deskripsi paling rasional mengenai seni.
Perasaan terasa lega mencuat ketika buang air kecil telah dilakukan. “Menulis seperti itu. Seni itu di atas logika. Logika tulisan akan jalan dengan sendirinya, sudah membaku di kepala,” katanya.
Dengan metode itu, ketika ada isu tertentu menyangkut hukum, ia segera meresponsnya dengan mengasah kemampuan intelektualnya. Buku-buku referensi juga digunakannya jika diperlukan. Karena itu ratusan judul buku tersedia di perpustakaan pribadinya di rumahnya. Walaupun sendirian menulis di perpustakaan itu, Pak Tjip selalu membayangkan sedang berbicara dengan orang banyak.
Di ruang itulah, di depan komputer, Pak Tjip mengetik idenya. Waktunya tidak tentu, kadang bisa dua-tiga jam, tetapi juga bisa dua-tiga minggu. Terlebih belakangan ini, sejak pensiun tahun 2000, ia lebih banyak mengendapkan dulu pemikiran sebelum ditulis. “Mungkin karena umur, saya membutuhkan kontemplasi dulu,” katanya.
Di antara tumpukan buku-buku itu, termasuk sejumlah buku karyanya sendiri. Selain buku kumpulan tulisan artikel, beberapa buku memang khusus dibuat dengan ide orisinal. Buku Ilmu Hukum, terbitan Penerbit Alumni, misalnya, yang menjadi buku teks mahasiswa hukum, telah dicetak enam kali. Buku terbarunya akhir tahun 2007 lalu adalah Biarkan Hukum Mengalir terbitan Penerbit Buku Kompas. Buku itu juga sudah dicetak ulang.
Pada usia 78 tahun ini, dengan empat anak, 14 cucu, dan satu buyut, Pak Tjip mengatakan masih banyak ide di kepalanya yang belum dituliskan. Itulah kegiatannya sekarang, latihan intelektual, membaca, dan menulis. Saat ditanya karya buku apa yang paling memuaskannya, Pak Tjip mengatakan, “Masih di kepala saya”. Apa yang dilakukan Pak Tjip ini seharusnya ditiru oleh para penulis muda. Fakta ini tentu harus menjadi perbandingan bagi kita. Bagi kalangan akademisi.

Dikenal
Kata-kata “saya berpikir, maka saya ada” atau yang dikenal dengan “Cogito ergo sum” merupakan ungkapan filsuf terkenal Rene Descrates. Ungkapan yang dinyatakan oleh Rene Descrates ratusan tahun yang lalu telah mengubah dunia. Paradigma baru yang memberikan warna perubahan bagi pemikiran bangsa Eropa menuju modernisasi. Seseorang akan dikenal karena buah-buah pemikirannya.
Ratusan tahun setelah Rene Descrates, ungkapan tersebut mungkin lebih tepat bila sedikit diganti menjadi “saya menulis, maka saya ada”. Ratusan tahun setelah Rene Descrates, proses berpikir lebih banyak diungkapkan dalam bahasa ekspresif. Seseorang akan dikenal dengan tulisan-tulisannya. Budaya membaca dan menulis telah menggantikan budaya lisan beberapa dekade yang lalu, dan teknologi informasi memungkinkan proses tersebut berlanjut terus.
Menulis merupakan proses yang kompleks, dan melibatkan sedemikian banyak bagian otak. Otak kiri bekerja dengan melibatkan bagian temporal untuk memori, bagian occipital untuk proses visual, dan bagian frontal untuk proses menulis. Bagian otak kanan akan memberikan sentuhan perasaan pada proses menulis. Pekerjaan yang sedemikian kompleks dan melibatkan berbagai bagian otak yang reseptif, dan kemudian diekspresikan oleh bagian frontal di otak kiri untuk diteruskan ke lengan.
Sebuah tulisan merupakan ungkapan ekspresi non lisan. Tulisan memiliki keuntungan sebagai budaya ekspresi yang lebih nyata, lebih obyektif, dan cenderung tidak bias. Sebuah pesan berantai yang disampaikan secara lisan akan banyak terancam bias. Sebuah tulisan akan diinterpretasikan dengan hampir sama oleh para pembacanya, kecuali pada bagian-bagian yang mengandung makan siratan.
Proses menulis pada mulanya dipandang sebagai proses yang sukar. Untuk menyusun satu kalimat atau alinea awal merupakan kerja keras tersendiri. Semua orang yang pernah duduk di Sekolah Dasar di negeri kita pasti mengalaminya. Hal ini terutama karena ada tekanan bahwa sebuah tulisan haruslah “sempurna”. Hal tersebut tiada berlaku lagi saat ini, sekarang proses “tulis-menulis” adalah hak setiap orang. Proses menulis saat ini bukanlah lagi merupakan hak segelintir kaum terpelajar sebagaimana zaman dahulu. Seorang ibu rumahtangga, seorang pelajar SMP, dan siapapun juga bisa dan boleh menulis.
Pengakuan Diri
Bagi para akademisi, peneliti, dan praktisi, dunia menulis merupakan hal yang sangat mutlak. Seorang akademisi membutuhkan tulisan atas namanya untuk dapat mencapai jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Seorang peneliti akan sangat bangga bila hasil penelitiannya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah yang bereputasi. Penelitian yang sangat bagus sekalipun tidak akan berguna bila tidak dipublikasikan. Sebuah kebanggaan bagi seorang akademisi dan praktisi bila tulisannya dibaca oleh banyak orang.
Sebuah tulisan merupakan bukti obyektif yang menggambarkan kiprah seseorang dalam bidangnya. Seorang pakar kesehatan akan dinilai sebagai ahli dari kuantitas dan kualitas publikasi ilmiahnya. Seseorang akan dikenang oleh tulisan-tulisannya. Seorang Soe Hok Gie sedemikian dikenang akibat tulisannya “Catatan Seorang Demonstran”. Seorang JK Rowling berubah nasib 180 derajat akibat tulisannya tentang seorang tukang sihir cilik bernama Harry Potter. Seorang Iip Wijayanto menuai kritik dan protes akibat tulisannya tentang keperawanan di Yogyakarta. Sedemikian hebat sebuah tulisan mampu mengubah nasib seseorang.
Aktualisasi diri
Saat ini tulisan telah berevolusi menjadi bentuk aktualisasi diri. Beberapa tahun yang lalu, seseorang harus bersaing dengan sedemikian banyak orang agar tulisannya (opini, cerpen, cerita fiksi lainnya) dimuat di suatu media cetak. Banyak tulisan yang baik tidak dapat dibaca oleh banyak orang karena alasan keterbatasan tempat di media cetak. Banyak tulisan menarik yang harus dikembalikan oleh dewan redaksi kepada pengarangnya dengan alasan seseorang lain telah mengisi kolom yang tersedia. Saat ini kemajuan teknologi informasi telah menghapus berbagai keterbatasan tersebut.
Kebutuhan akan aktualisasi diri telah terisi dengan kemajuan dibidang teknologi informasi. Buku harian saat ini pun dapat dipublikasikan. Semua orang dapat mempublikasikan karyanya kapan saja. Seorang penulis tidak perlu menunggu dengan ketidakpastian tentang karyanya akan dimuat atau tidak di media massa. Berbagai redaksi media cetak pun seringkali tidak memberikan konfirmasi apakah sebuah karya akan dimuat atau tidak. Seorang penulis yang mengirimkan karyanya akan menunggu dengan perasaan was-was. Cerita diatas merupakan kisah lalu. Saat ini hal tersebut tiada lagi berlaku.
Blog dan website telah mengatasi hal tersebut. Tulisan yang dibuat hari ini pun dapat ditampilkan secara online hari ini juga. Jangkauan teknologi memungkinkan orang yang terpisah jarak ribuan kilometer untuk segera membaca tulisan yang dipublikasikan pada saat yang sama.
Data menunjukkan bahwa setiap harinya di seluruh dunia muncul 75 ribu blogger. Hal tersebut menunjukkan bahwa menulis sudah merupakan kebutuhan. Dunia tulis menulis tidak bisa lagi dibatasi oleh tenggat waktu terbit, sempitnya kolom, terbatasnya jumlah media massa. Dunia tulis menulis telah merambah luas. Menulis blog merupakan ungkapan aktualisasi diri. Blog merupakan suara kebebasan. Semua orang boleh menulis tentang tema apapun, dengan konsekuanesi bahwa tulisannya dapat dibaca oleh siapapun di muka bumi ini. Si penulis pun harus bersiap untuk segala kritik dan tanggapan tentang tulisannya.
Seorang blogger yang mulanya bukan siapa-siapa, dapat menjadi selebriti karena tulisannya dibaca oleh sedemikian banyak orang. Tulisan yang menarik akan memicu sebuah diskusi yang bisa diikuti oleh ribuan orang yang dipisahkan oleh jarak dan lautan. Sebuah blog bisa menjadi ajang gosip, info terbaru, diskusi, bahkan mencari pemasukan tambahan.

Menulis Cepat
Menulis ilmiah populer memang berbeda dengan menulis ilmiah. Menulis ilmiah populer sama saja denga menulis cepat. Beberapa penulis, bsia menyelesaikan tulisannya dalam waktu singkat. Mereka menulis berdasarkan mood, dan tidak akan berhenti manakala, ada keinginan untuk menulis.
Para akademisi yang terbiasa menulis dengan menyertakan kutipan dan catatan kaki akan sangat tidak setuju dengan jurus yang satu ini. Bagaimana bisa mereka dipaksa untuk mengabaikan sementara pakem tulisan ilmiah yang selama ini menjadi paradigma berpikir mereka? Jika anda adalah penyibuk yang bisa meluangkan waktu banyak, tak apalah mengikuti cara-cara penulisan ilmiah yang sangat ketat. Tapi untuk menulis efektif dan efisien, cara tersebut tersebut kurang mendukung. Cara itu bisa membuat anda disibukkan dengan urusan membolak-balik literatur, mengecek keakuratan sebuah teori, konsep, atau proposisi, yang bisa mengganggu mood dan memperpanjang waktu menulis.
Karena itulah, jangan heran jika kebanyakan akademisi kita produktif menulis artikel kolom, opini, atau esai refleksi yang lebih instan sifatnya. Namun, hanya sedikit dari mereka yang mampu menulis buku dengan pendekatan ilmiah yang sangat ketat. Kalau pun menulis buku, tak sedikit yang berbentuk kumpulan tulisan pendek yang pernah dimuat di media masa. Seperti ditegaskan sebelumnya, ini tak masalah, bahkan bisa diajukan sebagai alternatif. Namun dari fakta ini saja tergambar, pendekatan akademis tak akan membantu anda dalam menulis cepat.
Ada fakta menarik yang dicatat Museum Rekor Indonesia (MURI) Februari 2002 lalu. Profesor Dr. F.G. Winarno, Guru Besar IPB berusia 64 tahun, mampu menulis 50 judul buku hanya dalam waktu 4 bulan, atau per judul buku diselesaikannya rata-rata dalam 2,5 hari! Guru Besar ini menumbangkan rekor Drs. Sunarto yang "hanya" mampu menulis 20 judul buku dalam waktu yang sama.
Asal tahu saja, Winarno berulang-ulang memperoleh penghargaan dalam berbagai lomba penulisan dan penelitian. Salah satunya, Award Follow International Academy Of Food Science and Technology yang merupakan pengukuhan dirinya sebagai ahli pangan terkemuka di dunia (4 Oktober 1999). Winarno adalah orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan bergengsi tersebut. Dalam merampungkan 50 judul buku tadi, silakan kita jawab sendiri, Winarno menggunakan metode menulis cepat, ataukah metode ilmiah yang sangat ketat.
Demikianlah, perihal pentingnya akademisi mengasah dan mengembangkan keterampilan menulis. Banyak pilihan media, tak sedikit alasan dan latar belakang untk itu, serta ada beberapa alternatif teknik mengembangkanya. Kembali kepada kalangan akademisi itu sendiri untuk menentukan pilihan. Eksistensinya sesungguhnya ditentukan oleh tulisannya yang memuat pemikiranya yang kemudian bisa bermanfaat bagi masyarakat melalui tulisan ilmiah populer.

Palembang, Juli 2008

Muhamad Nasir
Dosen Universitas PGRI Palembang dan Mahasiswa Pascsarjana Universitas PGRI Palembang.
*Makalah dalam Seminar Nasional Bahasa Indonesia di Pasca Sarjana Universitas PGRI Palembang, dengan tema, “Aktualisasi Literasi Kaum Intelektual yang Berwawasan Iptek dan Imtaq Terpadu”, Palembang 19 Juli 2008.
Daftar Pustaka

Badariah, Rini Nurul. Akademisi dan Publikasi Populer. groups.yahoo.com/group/LayarKata-Network

Kartawijaya, Budhiana. Materi Pelatihan Opini. 2007. Jakarta: Balai Pelatihan Komunikatif.

“Profesor Populer itu Mengabdi Penuh untuk Dunianya”.Kompas, Selasa (24/6/2007).

Rizaldi Pinzon. “Dosen atau Jurnalis”. Blogg.spot.com.

Semi, M Atar. 2005. Teknik Penulisan Berita, Features, dan Artikel. Bandung: Mugantara.

Slamet, ST Y. 2007. Dasar-Dasat Keterampilan Berbahasa Indonesia. Surakarta: LPP UNS.

Zaqeus, Edy. “Jurus Jitu Menulis Buku untuk Orang Sibuk”. Halaman opini. www.sinarharapan.co.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar