Kamis, 29 Oktober 2009

Mesum dalam Soal Bahasa Indonesia

Ada Kalimat Mesum di Soal Bahasa Indonesia SD

Sriwijaya Post - Rabu, 28 Oktober 2009 11:29 WIB
SIDOARJO — Dunia pendidikan Sidoarjo geger menyusul munculnya kalimat berbau cabul dalam soal ujian tengah semester untuk sekolah dasar.

Kalimat vulgar sekaligus dagelan terselip dalam paragraf akhir dari dua paragraf bacaan di soal ujian Bahasa Indonesia.

Ada siswa yang menerima lembar soal itu dalam kondisi kalimat-kalimat vulgar itu masih belum dihapus. Namun, ada juga yang sudah dihapus dengan memoleskan stipo pada tulisan tersebut.

Soal Bahasa Indonesia (BI) itu diujikan pada hari pertama ujian tengah semester (UTS) untuk siswa SD kelas VI di Kabupaten Sidoarjo, Senin lalu. Masa UTS akan berakhir pada Kamis (29/10).

Sejumlah siswa yang menerima soal ujian BI yang sudah ter-stipo tidak banyak mengetahui bunyi kalimat vulgar tersebut.

Mereka cuma merasa sedikit aneh karena pada bacaan di halaman pertama dari lembar soal berisi 50 pertanyaan itu terdapat kalimat-kalimat yang ditutupi stipo warna putih.

“Saya tidak tahu apa bunyi kalimatnya, cuma terbaca sedikit di bagian akhir. Tetapi teman-teman saya, yang menerima lembar soal dengan kalimat-kalimat yang belum dihapus, tertawa-tawa setelah mengerjakan soal,” kata AR, seorang siswa kelas VI sebuah SD di kawasan Kecamatan Sukodono, kepada Surya.

Hasil ujian untuk soal itu sudah dibagikan kemarin karena sudah diberi nilai. AR bercerita, dua temannya menerima soal dalam kondisi kalimat tersebut belum dihapus.

Namun, sebelum dikerjakan, guru yang mengawasi ujian meminta dua siswa ini men-stipo kalimat-kalimat yang vulgar. AR bercerita bahwa teman sekelasnya berjumlah 37 anak, termasuk dirinya.

“Pada lembar soal yang saya terima, yang masih bisa terbaca meskipun samar, adalah kalimat 'I Love You Full',” kata siswa ini.

Saat saling bercerita tentang kata-kata itu, dia dan sejumlah temannya tertawa-tawa sendiri seusai ujian.

Maklum, kata-kata ini sudah akrab di telinga, termasuk di kalangan anak SD karena kalimat itu merupakan bagian syair lagu "Tak Gendong" yang dipopulerkan almarhum Mbah Surip, penyanyi berambut gimbal asal Mojokerto.

AR bercerita, dia bersama teman-temannya mengerjakan soal ini mulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 11.00 WIB.

Naskah UTS untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia ini dujikan pada jam ujian kedua, setelah mata pelajaran Agama pada jam pertama.

Apa sesungguhnya isi kalimat yang tercetak dalam naskah soal yang sudah ter-stipo itu?

Surya mencoba mencermati kalimat-kalimat yang tersaput stipo. Karena hapusan stipo tidak maksimal, kalimat-kalimatnya masih bisa terbaca kendati harus dengan seksama.

Kalimat yang sudah di-stipo ini berbunyi “atau diucluk-ucluk….karo biasané dibalsem térongé… I love you full…”

Secara garis besar, bacaan dalam soal ujian BI itu bercerita tentang peredaran makanan dan minuman kedaluwarsa menjelang Lebaran, dan sanksi bagi pengusaha swalayan yang masih menjualnya. Tidak disebutkan, dari mana sumber bacaan tersebut.

Ditulis di bacaan itu, jika swalayan masih menjual makanan kedaluwarsa, maka “akan dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 tahun denda Rp 15 juta. Hukuman tambahan di krangkéng dijadikan satu karo macan seminggu, atau diucluk-ucluk…karo biasané dibalsem térongé…I love you full..”

Aneh sebetulnya bacaan ini jika dijadikan bahan soal ujian. Judul bacaan, yakni “Pengusaha Bandel di Krangkeng Bareng Mak Erot”, tidak ada kaitan yang tegas dengan isi bacaan.

Selain itu, dari sisi gramatika atau tata bahasa, bacaan itu tidak memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang benar sehingga semestinya tidak layak dijadikan bahan soal ujian.

Soal ujian ini diduga beredar di seluruh Sidoarjo. Sebab, siswa kelas VI sebuah SD di Kludan, Kecamatan Tanggulangin, juga menemukan hal yang sama.

“La iya, masak ditulis bahwa pengusaha yang masih mengedarkan makanan dan minuman kedaluwarsa akan diucluk-ucluk dan 'terong'-nya akan dibalsem,” kata UT, seorang wali murid SD di wilayah Kludan.

Meski begitu, UT juga tak bisa menahan rasa gelinya. “Judulnya pakai kata Mak Erot, apa maksudnya?”

Untuk diketahui, Mak Erot adalah nama almarhumah seorang pemijat dari Sukabumi (Jawa Barat) yang terkenal karena disebut-sebut bisa membesarkan alat vital kaum laki-laki.

Dengan kepiawaiannya itu, nama Mak Erot menjadi tersohor seantero Indonesia sebagai spesialis pembesar alat vital.

Orangtua AR, siswa sebuah SD di Sukodono, mengaku terkejut setelah tak sengaja melihat lembaran soal UTS itu. Soal itu dilihatnya tergeletak di meja belajar anaknya, seusai dibagikan gurunya, Selasa lalu.

“ Saya kaget, kok ada kata-kata Mak Erot, “ kata warga Sukodono ini.
Sry

Jumat, 04 September 2009

Variasi Bahasa

Bahasa dan Variasi Pemakaiannya di Masyarakat



Oleh
Muhamad Nasir
NIM 20076011041


Tugas Akhir Mata Kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengasuh
Dr. Hj. Ratu Wardarita, M.Pd
Dra. Hj. Siti Rukiah, M.Pd.






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
BKU PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2008








Bahasa dan Variasi Pemakaiannya di Masyarakat
oleh Muhamad Nasir

Bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari sangat bervariasi. Salah satunya disebut bahasa gaul. Bahasa gaul? Sebuah istilah yang sebenarnya menyesatkan. Tapi tak apa. Ini berarti ada penyempitan makna. Bahasa gaul kini diartikan sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam pergaulan oleh anak-anak dan remaja–dan masyarakat umum, baik di desa maupun di kota, yang menganggap dirinya banyak bergaul, kotaan, modern. Jadi, untuk menghindari predikat kampungan, dusunan, udikan kini banyak orang – sadar atau pun taksadar – menggunakan bahasa gaul dalam kesehariannya, terutama dalam bentuk lisan.

Maka hampir semua kata – bukan saja kata dasar bahasa Indonesia, melainkan juga kata yang berasal dari bahasa daerah (Sunda) dan bahasa asing (Inggris) – dibubuhi awalan nge- akhiran -in agar menjakarta, agar modern, agar kotaan. Misalnya, nyumputin ‘menyembunyikan’, nguyahin ‘menggarami’, ngeprint ‘mencetak’, ngedownload ‘mengunduh’, ‘membuka fayel di internet’. Jadi, ada penyempitan makna lagi: bahasa Indonesia adalah dialek Betawi. Maka bahasa gaul adalah dialek Betawi.

Dalam ilmu bahasa yang disebut bahasa gaul taklain adalah bahasa yang digunakan untuk perhubungan bin pergaulan secara luas alias komunikasi alias lingua franca – Ingat saja pelajaran di SLTP, mengapa bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia lalu dijadikan sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara.



Variasi Bahasa
Variasi bahasa adalah suatu wujud perubahan atau perbedaan dari pelabagai manifestasi kebahasaan namun tidak bertentangan dengan kaidah kebahasaan. (Paul, 2002:46).

Contoh beberapa variasi bahasa, diantaranya variasi morfofonemis. Bahwa dalam penggunaan bahasa ada tiga variasi morfer /ber-/ , ber-, ber-, dan bel- saat digabungkan dengan bentuk dasar. Menjadi ber bila kata dasarnya kata, menjadi berkata. Menjadi be- bila kata dasarnya renang, menjadi berenang, lalu menjadi bel- bila kata dasarnya ajar, menjadi belajar.

Ada juga variasi pragmatik, misalnya dalam konteks, seorang pemilik mobil menegur sopirnya yang memacu kijang tua di tol dengan kecepatan 120 km/jam.

Pemilik mobil : Mas, coba lihat papan di depan!
Sopir : Baik, pak (serta merta kecepatan kendaraan diturunkan menjadi hanya 90 km/jam).

Atau contoh lain, pemilik mobil menyapa sopirnya dengan sebut Mas. Dia seolahn merendahkan diri dengan harapan sopir dapat melaksanakan keinginannya tanpa merasa terpaksa.

Secara umum, variasi bahasa menurut Paul terbagi dua, yakni variasi sistemik dan variasi ekstrasistemik.

Variasi Sistemik
Variasi sistemik disebut juga variasi internal, karena hanya terjadi lingkup unsur-unsur kebahasaan itu sendiri, misalnya pada unsur fonem, morfem, tata kalimat, dan sebagainya.
Perubahan morfer ber- menjadi bel-, ber-, dan be, merupakan salah satu contoh variasi sitemik. Sama seperti perubahan morfem meN- menjadi menge-, meng-, meny, men-, dan mem-.

Variasi Ekstrasistemik
Variasi ekstrasistemik menurut Paul (2002:49) adalah perubahan yang bersumber dari luar sistem bahasa. Disebut juga variasi eksternal. Variasi ini terjadi karena berbagai faktor, seperti keadaan geografis, konteks sosial, fungsi atau tujuan komunikasi dan faktor perkembangan bahasa dalam kurun waktu yang lama.

Faktor geografis, misalnya karena rintangan geografis seperti gunung, sungai selat dan sejenisnya bahasa yang tadinya merupakan alat komunikasi yang seragam antarkelompok mengalami perubahan karena perindahan dari suatu lokasi ke lokasi yang lain. Disebut juga dialek. Bahasa orang yang tinggal di lampung, berbeda dengan bahasa warga Jakarta. Atau orang Jawa menggunakan bahasa Palembang.

Kedudukan sosial, dikenal pada bahasa Jawa seperti hasil penelitian C. Geertz dalam J.B. Price and Janet Holmes, ada tidak ragam. Pertama, penutur bukan priyayi namun cukup terpelajar dan tinggal di kota. Kedua, ragam yang dipakai para petani atau warga kota yang bukan terpelajar, dan ketiga ragam yang lazim dituturkan kaum priyayi.

Situasi berbahasa, disebut juga fungsiolek. Kalau perbedaan kedudukan sosial menimbulkan sosiolek, maka perbedaan situasi dan dengan siapa dan dalam konteks apa menimbulkan fungsiolek. Dikenal lima tingkat ragam bahasa, beku (froren), resmi (formal), usaha (consultative), santai (casual), dan akrab (intimate).

Perubahan karena berlalunya waktu, terlihat perbedaan pada masa 1939 prakemerdekaan, 145 awal kemerdekaan, dan 1995 masa orde baru. Perubahan dalam ejaan, seleksi kata, makna kata dan frase.

Berbicara tentang pemakaian ragam bahasa, pasti Anda masih ingat. Kita bergaul dengan slogan-slogan yang berbau pembangunan. Bagaimana bahasa Indonesia (lisan) yang digunaken Bapak daripada Pembangunan pada masa Orde Baru yang mangkin lama – bahkan sampai kini – secara membabi buta mangkin diikuti bawahannya dan orang-orang yang “berjiwa pembangunan”. Waktu Habibie jaya, orang-orang memaksakan diri berbicara tentang dan bergaul dengan masyarakat madani. Pada orde Gus Dur banyak bermunculan kata baru dalam bahasa Indonesia yang bersumber dari bahasa Arab karena Gus Dur berasal dari kalangan kiayi yang dapat dipastikan akrab bergaul dengan lughotul ‘arobiyah. Masa Megawati lain lagi. Kini kata-kata berbau nasionalis demokratis bertebaran dalam pergaulan kita, terutama para aktivis politik.

Anda pun mungkin ingat salah satu iklan obat batuk mengatakan “em-em” (turunan dari ember dan emang dari memang). Iklan ubin mengatakan, “No strength like it. No tile like it. Bagaimana pula Debby Sahertian dkk. sebagai kaum selebritis mengubah aku menjadi akikah atau kata lain dengan pola seperti itu mengingatkan kita pada kata-kata pemuda Bandung tahun 70-an. Sekadar contoh: gedé menjadi uda genéng, bujur menjadi ujar bunung, geulis menjadi ulas geuning, kasép menjadi usap kanéng.

Kita beralih ilustrasi. Kita perhatikan petikan surat Umberto Eco untuk Maria Martini. Umberto Eco adalah profesor, teolog, ahli semiotik, dan sekaligus novelis Italia. Carlo Maria Martini adalah seorang kardinal yang “membuka gereja” untuk diskusi.

Carlo Maria Martini yang terkasih,
Saya berharap Anda tidak berpikir bahwa saya berlaku tidak hormat dengan langsung memanggil nama tanpa memperhatikan jubah yang Anda pakai. Anggap saja tindakan ini merupakan penghargaan dan tindakan yang bijak. Disebut penghargaan karena saya selalu mengikuti cara orang Perancis umumnya yang menghindari penggunaan tanda karena dianggap sering sekali mereduksi maknanya seperti Doktor, Sri Paduka, atau Tuan Menteri ketika mereka mewawancarai seorang penulis, artis, atau tokoh politik. Gelar-gelar tersebut memang menunjukkan tanda intelektual mereka, namun bagi orang Perancis justru namalah yang lebih menunjukkan keberadaan mereka sehingga kami sering menyebutnya, “Dites-moi, Jacques Maritain”; “Dites-mois, Claude Lévi-Strauss” (Panggil saya, Jacques Maritain; Panggil saya, Claude Lévi-Strauss).

Memang. Perancis berbeda dengan Indonesia. Tentu gaya bahasanya pun berbeda. Karena itu, maaf, Dites-moi Indonésié parce que je suis Indonésien. Simaklah undangan perkawinan yang pernah Anda terima. Umumnya, pengundang mencantumkan nama berikut gelar selengkap-lengkapnya, sepanjang-panjangnya. Contoh saja: Prof. Dr. dr. H. Nana Haon Sumakumlaude, SpPD, SpA. atau Prof. Dr. Hj. Surajah, S.H., CN, LLM. atau yang meraih pendidikan non-gelar (diploma) dengan A.Md-nya atau TNI/Polisi dengan pangkatnya – bahkan yang sudah pensiun pun eh … purnawirawan. Takheran jika pada label nama yang diundang pun ada gaya bahasa semacam ini: Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan nama dan gelar. Barangkali ini adalah gejala ulang yang menjadi kajian sejarawan atau sosiolog Indonesia. Dulu ada Raden. Kini ada Doktor Humoris (eh … Honoris) Causa. Keduanya mengimplikasikan adanya keningratan. Bedanya: zaman.

Secara implisit, ilustrasi-ilustrasi yang diberikan di atas menggambarkan adanya peristiwa komunikasi – dilandasi dengan kebudayaan dan tujuan tertentu yang dibawa pelaku komunikasi – yang menyebabkan adanya pilihan ragam bahasa. Bahasa apa pun dan di mana pun di dunia ini memiliki ragam yang sangat bervariasi aktualisasinya. Walaupun penuturnya memakai ragam yang berbeda, bentuknya adalah bahasa yang sama yang terbagi ke dalam idiolek, dialek, sosiolek, register atau stil (style). Setiap penutur pasti memiliki kelompok sosialnya (masyarakat bahasa) dan hidup dalam tempat dan waktu tertentu. Karena itu, dia memiliki dua dialek, yaitu dialek sosial (vertikal) dan dialek regional temporal (horizontal).

Kata-kata khas yang – sulit bahkan takbisa diubah – diproduksi oleh seseorang semisal kata daripada dan mangkin yang dicetak miring pada bagian awal tulisan ini dalam ilmu bahasa disebut idiolek. Jika idiolek-idiolek yang bertebaran kemudian digabungkan lagi, dia akan memiliki sekumpulan ciri tertentu. Ciri-ciri yang dimaksud akan berbeda pula jika berada di daerah-daerah tertentu. Idiolek yang berkembang di daerah tertentu dan menjadi ciri khas daerah itu, bukan lagi idiolek melainkan dialek. Misalnya, orang Bandung mengatakan engké yang berarti ‘nanti’. Untuk kata yang dimaksud itu, orang Kuningan dan Bogor mengatakannya engkin. Dan dialek yang berkembang dalam tingkat sosial tertentu dalam ilmu bahasa disebut sosiolek. Jika kita perhatikan, pilihan kata (diksi)–juga struktur kalimatnya–yang digunakan oleh orang yang berpendidikan tinggi akan berbeda dengan yang dipakai oleh orang yang berpendidikan rendah. Misalnya, pihak pertama akan menggunakan saya dan you, Anda dalam bertegur sapa, sedangkan pihak kedua akan memilih aku, ana, gua, gue dan kamu, kau, ente, elu, lo.

Perbedaan pemilihan kata (pemakaian bahasa) atau variasi tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh latar pendidikan, tetapi juga oleh latar atau faktor-faktor lain. Faktor-faktor yang dimaksud di antaranya adalah tempat, waktu, situasi, maksud, kemampuan berbahasa, baik penyapa maupun pesapa, juga latar umur dan jenis kelamin. Seorang J.S. Badudu yang dikenal sebagai pendekar dan pembina bahasa Indonesia, misalnya, bisa saja –dan boleh juga– tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagaimana yang ia selalu gembar-gemborkan dulu di TVRI dan di majalah Intisari. Sebabnya, ia paham betul yang dimaksud baik adalah menurut situasi dan benar adalah menurut kaidah. Tidak akan pernah J.S. Badudu pergi ke toko buku dan bertanya kepada pelayan dengan kalimat semacam ini: “Hai, pelayan! Berapa rupiahkan harga satu buah buku yang akan saya beli ini?” “Oh, ternyata terlalu mahal, bolehkah harga yang ditawarkan itu dikurangi agar saya jadi membelinya?” karena walaupun benar, kalimat itu tidak sesuai dengan situasi. Kalimat yang akan digunakannya mungkin semacam ini: “Berapa buku ini?” “Boleh kurang ‘kan?” “Kurangi dong.” Atau karena penjual buku diduga sebagai orang Minang, mungkin Badudu akan menggunakan bahasa Minang campur bahasa Indonesia. Atau juga dia akan menggunakan bahasa Jawa karena tempat penjualan buku itu di Malioboro, Yogyakarta. Atau juga berbahasa Sunda karena tempatnya di Jalan Palasari, Bandung, dan pedagangnya orang Sunda.

Peristiwa yang terjadi dalam situasi pembicaraan di atas adalah antara calon pembeli yang menginginkan buku yang akan dibelinya bisa diperoleh dengan harga cocok menurut pembeli, tanpa embel-embel latar pendidikan atau suku – J.S. Badudu berasal dari Gorontalo. Bisa juga terjadi apa yang dalam ilmu bahasa (baca: sosiolinguistik atau sosiologi bahasa) disebut alih kode atau campur kode. Misalnya percakapan dalam bahasa Indonesia atau Jawa antara dua orang di stasiun Yogyakarta. Ketika diketahui bahwa kedua orang sama-sama itu berasal dari Tasikmalaya, baik sengaja maupun tidak, bahasa yang mereka gunakan tidak lagi bahasa Indonesia atau Jawa, tetapi bahasa Sunda atau Sunda campur Indonesia.Jadi, batasan-batasan kebahasaan yang dikemukakan di atas sangat tipis perbedaannya. Karena itu, ada beberapa istilah lain yang berhubungan dengan ilustrasi-ilustrasi yang dikemukakan di atas perlu kita ketahui. Di antaranya stil, slang, jargon, argot, dan register yang batasannya dikemukakan berdasarkan pendapat beberapa ahli bahasa (sebagian dikutip dari Chaedar Alwasilah, Sosiologi Bahasa, 1985)

Stil adalah cara seorang pembicara atau penulis mendayagunakan atau mengekspresikan sumber-sumber kebahasaannya –pilihan yang ditempuhnya dan penyusunan-penyusunan serta pola-pola yang tampak. Yang termasuk ke dalam stil, misalnya, petikan surat Umberto Eco yang ditujukan kepada Carlo Maria Martini dan peristiwa penawaran buku oleh J.S.Badudu.

Slang adalah hasil daya temu kebahasaan, terutama kawula muda dan orang-orang ceria yang menginginkan istilah-istilah segar, asli, tajam, atau apik untuk menyebut kembali gagasan-gagasan, tindakan-tindakan, dan objek-objek yang sangat mereka gandrungi. Dengan demikian, slang adalah hasil kombinasi kekurangwajaran bahasa dengan reaksi terhadap kosakata (diksi) yang serius, kaku, muluk, megah, atau tidak menarik. Contoh untuk ini adalah yang diciptakan oleh Debby Sahertian dkk. atau ragam bahasa Sunda pemuda Bandung tahun 70-an.

Jargon adalah seperangkat istilah dan ungkapan yang dipakai satu kelompok sosial atau kelompok profesi, tapi tidak dipakai dan sering sekali tidak dimengerti oleh masyarakat ujaran secara keseluruhan. Contoh: istilah morfologi bagi orang bahasa dimengerti sebagai ilmu bentuk bahasa, tetapi bagi orang yang berkecimpung di dunia geologi istilah tersebut dimengerti sebagai ilmu bentuk tanah. Karena itu, jika dalam percakapan kedua orang dari dua kubu ini menggunakan istilah mereka masing-masing tanpa penjelasan, walaupun kata-kata atau istilahnya persis sama, kemungkinan akan terjadi salah pengertian.

Argot mirip dengan jargon, maka ada yang menyamakan, ada juga yang membedakan. Dalam keseharian argot sering digunakan oleh kelompok tertentu, terutama anak muda. Umumnya argot muncul dalam bentuk singkatan atau akronim. Misalnya: gersang ‘segar dan merangsang’, SMS ‘susu mami sedap’, kece ‘keren dan cakep’.
Register adalah ragam bahasa yang digunakan untuk maksud tertentu, sebagai kebalikan dari dialek sosial atau regional (yang bervariasi karena penuturnya). Register bisa dibatasi lebih sempit dengan acuan pada pokok ujaran (pokok pembicaraan, misalnya, mengail, judi); pada media (modus wacana, misalnya, bahan cetak, surat tertulis); atau pada tingkat keformalan (tingkah wacana, misalnya, formal, biasa, intim).

Berdasarkan itu semua, pemakaian bahasa bergantung pada diri kita masing-masing. Kita mau memilih ragam atau dialek apa, kita sendiri yang menentukan karena kita yang punya kepentingan dan maksud tertentu. Kita pula yang punya status dan kemampuan berbahasa. Kita pula yang tahu waktu dan situasi. Boleh-boleh saja kita mengikuti gaya mantan presiden Soeharto atau mantan menteri Mien Soegandhi yang tampak kejawaannya, atau J.S. Badudu yang tidak menampakkan kegorontaloannya, atau Hetty Koes Endang yang tampak kesundaannya, atau Jojon dan Mpok Ati (dua orang Sunda yang menjakarta), atau mau ngikut tetangga kita yang memarahi anaknya, “Da kata mamah juga, jangan ngikutin kakak ngumpet di kolong meja atuh, jadi we kamu tidagor.”

Ada juga seorang pemimpin komisi di DPR baru-baru ini mengatakan, “Kami mensapor sepenuhnya.” Dalam bahasa Indonesia, kata mensapor berarti berasal dari kata dasar sapor ditambah imbuhan men- (yang seharusnya menjadi menyapor). Carilah kata sapor dalam kamus bahasa Indonesia. Pasti tidak ada karena yang dimaksud Tuan DPR adalah support. Maunya si Tuan memasukkan kata berbahasa Inggris, tetapi ternyata tidak kena karena yang keluar bukan bahasa Inggris, bukan pula bahasa Indonesia (kaciaaaaaan dech lo). Kalaupun kata support mau dijadikan bahasa Indonesia, ya harus menjadi supor dan jika diimbuhi men- berubah menjadi menyupor (bandingkan export – import menjadi ekspor – impor). Gitchu donk seh ah!

Atau ada pejabat di BUMN pupupl dalam sambutan resminya mengatakan hal serupa, ”Produk yurea tahun ini mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya......” Urea yang mestinya diucapkan urea, oleh pejabat tersebut diucapkan menggunakan pengucapan bahasa Inggris.
Dibagaimanakan pun, bahasa tidak akan protes. Yakinlah! (Ragam) bahasa layu dan berkembang, bergantung pada pemakai. Jika pemakai sudah jemu, bahasa akan layu, atau bahkan mati. Jika pemakainya setia, bahasa pun terus jaya. Inilah gejala sosial yang terjadi dalam penggunaan bahasa.






















Daftar Pustaka


Chaer, Abdul dan Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Nababan, P.W.J. 1994. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Gramedia: Jakarta.

Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik: Memahami bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Kesaint Blanc: Jakarta.


Rusyana, Yus. 1988. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.

Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Kedwibahasaan Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Depdikbud: Dirjen Dikti, P2LPTK.

Pengantar Sosiolinguistik

Pengantar Sosiolinguistik




Oleh
Muhamad Nasir
NIM 20076011041




Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sosiolinguistik
Dosen Pengasuh
Dr. Hj. Ratu Wardarita, M.Pd
Dra. Hj. Siti Rukiah, M.Pd.









PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
BKU PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2008






1. Pendahuluan

Nababan (1994:1) mengemukakan dari dulu sudah disadari bahwa bahasa adalah suatu lembaga kemasyarakat (de Saussure, 1916) sebagaimana halnya perkawinan, pewarisan harta, dan sebagainya. Dalam bahasa ada dimensi kemasyarakatan yang memberikan makna kepada bahasa. Dan lebih lanjut dikemukakannya, “Dimensi kemasyarakatan ini menimbulkan ragam-ragam bahasa yang bukan hanya berfungsi sebagai penunjuk perbedaan golongan kemasyarakatan penuturnya, tetapi juga sebagai indikasi situasi berbahasa serta mencerminkan tujuan, topic, aturan-aturan dan modus penggunaan bahasa,”

Hal senada diungkapkan Paul (2002:2) bahwa kehidupan manusia normal tidak dapat dipisahkan dari bahasa. “Bahasa menyerap masuk ke dalam pemikiran, menjembatani hubungan kita dengan yang lain, bahkan menyelinap masuk dalam mimpi. Perangkat pengetahuan manusia pun yang demikian banyak juga tersimpan dan disebarluaskan melalui bahasa.”

Dengan demikian, antara bahasa dan masyarakat tidak dapat dilepaskan begitu saja. Karena itu, kemudian lahirlah sosiolunguistik. Merupakan ilmu yang bersifat interdispliner. Menurut Paul (2002:9) gabungan dari sosio (logi) dan lingusitik.

Apa dan bagaimana sesungguhnya sosiolinguistik itu, akan dibahas dalam makalah ini secara terperinci.

Adapun pembahasan yang akan dipaparkan meliputi pemahaman tentang bahasa, variasi bahasa, hubungan antara bahasa dan masyarakat, sosiolinguistik dan sosiologi bahasa, serta pendekatan penelitian sosiolingustik.

2. Pembahasan
2.1 Pemahaman tentang Bahasa

Bahasa adalah sistem lambang bunyi bahasa yang arbitrer yang digunakan masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Harimurti Kridalaksana, 1993:21). Bahasa ini dapat
dikaji dari berbagai sudut pandang dan perhatian khusus pada unsur bahasa yang berbeda-beda seperti struktur intern bahasa dikaji dalam linguistik, dengan kajian mendalam pada unsur fonem atau bunyi bahasa disebut fonologi, morfologi mempelajari struktur intern bentuk-bentuk kata, sintaksis
mengkaji hubungan antarbentuk kata dalam tataran kalimat, dan lainnya.

Namun kajian bahasa secara intrinsik ini tidak mampu mengungkap fenomena bahasa secara seutuhnya. Seperti misalnya dimensi kemasyarakatan bahasa yang tidak “tampak” dalam struktur bahasa. Pengkajian bahasa dengan mempertimbangkan dimensi kemasyarakatan ini
yang disebut sosiolinguistik.

Bahasa adalah salah satu ciri yang laing khas manusiawi yang membedakannya dari makhkluk yang lain. ”Ilmu yang mempelajari hakikat dan ciri-ciri bahasa disebut ilmu linguistik. Linguistklah yang mengkaji unsur-unsur bahasa serta hubungan-hubungan unsur itu dalam memenuhi fungsinya sebagai alat perhubungan antarmanusia. (Nababan,1994:1)

Bahasa ini dapat dikaji dari berbagai sudut dan memberikan perhatian khusus pada unsur-unsur bahasa yang berbeda-beda dan pada hubungan-hubungan yang berbeda-beda pula. Dengan begitu lahir beberapa cabang ilmu linguistik, antara lain : fonologi yang mempelajari bunyi bahasa; morfologi yang mempelajari bentuk-bentuk kata; sintaksis yang mengkaji Penggabungan kata-kata menjadi kalimat yang berbeda-beda; tipologi bhasa yang mempelajari persamaan dan perbedaan antara bahasa; linguistik historis yang mempelajari perubahan yang terdapat dalam bahasa sesuai perjalanan waktu.

Dalam buku Sign, Language and Behavior (1946) (dalam Nababan, 1994:2) Charles Morris membedakanb tiga macam studi bahasa yang dianggapsuatu system semiotic (perisyaratan), bergantung dari apa yang menjadi pusat perhatian.

Jika yang diperhatikan ialah hubungan antara isyarat-isyarat ( unsur bahasa) dengan maknanya, disebut semantik. Jika yang perhatian ditumpukan pada hubungan isyarat dengan isyarat disebut sintaktis, atau oleh para pakar bahasa disebut linguistik. Jika pusat perhatian ialah hubungan antara isyarat dengan pemakainya (penutur bahasa) disebut pragmatik.

Pragmatik inilah yang kemudian disebut sosiolinguistik. Khususnya yang mempelajari aspek-aspek sosial dari pemakaianya dan aturan pemakaiannya.

Paul Ohoiwutun (2002:10) secara lebih jelas membagi linguistik itu dalam dua bagian besar. Yang pertama mikrolinguistik, mempelajari bahasa secara internal, dari dalam sistem bahasa itu sendiri. Lalu makrolinguistik, menganalisis bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktror eksternal, di luar sistem bahasa



Lebih jelasnya, Harimurti Kridalaksana menggambarkan pembidangan lingustik sebagai berikut:
I. Mikrolinguistik
Bidang Teoritis Bidang interdisipliner
Umum: - fonetik - stilistika
(1) teori linguistik - filsafat bahasa
(2) linguistik desktiptif - psikolinguistik
(3) linguistik historis komparatif - sosiolinguistik
- filologi
Untuk bahasa tertentu: - semiotika
(1) lingusitik deskriptif - dan lain-lain
(2) linguistik historis komparatif


Bidang Terapan:
- pengajaran bahasa
- penerjemahan
- leksikografi
- fonetik terapan
- pembinaan bahasa
- dan lain-lain
II. Makrolinguistik


2.2 Variasi Bahasa
Variasi bahasa adalah suatu wujud perubahan atau perbedaan dari pelabagai manifestasi kebahasaan namun tidak bertentangan dengan kaidah kebahasaan. (Paul, 2002:46).

Contoh beberapa variasi bahasa, diantaranya variasi morfofonemis. Bahwa dalam penggunaan bahasa ada tiga variasi morfer /ber-/ , ber-, ber-, dan bel- saat digabungkan dengan bentuk dasar. Menjadi ber bila kata dasarnya kata, menjadi berkata. Menjadi be- bila kata dasarnya renang, menjadi berenang, lalu menjadi bel- bila kata dasarnya ajar, menjadi belajar.

Ada juga variasi pragmatik, misalnya dalam konteks, seorang pemilik mobil menegur sopirnya yang memacu kijang tua di tol dengan kecepatan 120 km/jam.

Pemilik mobil : Mas, coba lihat papan di depan!
Sopir : Baik, pak (serta merta kecepatan kendaraan diturunkan menjadi hanya 90 km/jam).

Atau contoh lain, pemilik mobil menyapa sopirnya dengan sebut Mas. Dia seolahn merendahkan diri dengan harapan sopir dapat melaksanakan keinginannya tanpa merasa terpaksa.

Secara umum, variasi bahasa menurut Paul terbagi dua, yakni variasi sistemik dan variasi ekstrasistemik.

2.2.1 Variasi Sistemik
Variasi sistemik disebut juga variasi internal, karena hanya terjadi lingkup unsur-unsur kebahasaan itu sendiri, misalnya pada unsur fonem, morfem, tata kalimat, dan sebagainya.
Perubahan morfer ber- menjadi bel-, ber-, dan be, merupakan salah satu contoh variasi sitemik. Sama seperti perubahan morfem meN- menjadi menge-, meng-, meny, men-, dan mem-.

2.2.2 Variasi Ekstrasistemik
Variasi ekstrasistemik menurut Paul (2002:49) adalah perubahan yang bersumber dari luar sistem bahasa. Disebut juga variasi eksternal. Variasi ini terjadi karena berbagai faktor, seperti keadaan geografis, konteks sosial, fungsi atau tujuan komunikasi dan faktor perkembangan bahasa dalam kurun waktu yang lama.

Faktor geografis, misalnya karena rintangan geografis seperti gunung, sungai selat dan sejenisnya bahasa yang tadinya merupakan alat komunikasi yang seragam antarkelompok mengalami perubahan karena perindahan dari suatu lokasi ke lokasi yang lain. Disebut juga dialek. Bahasa orang yang tinggal di lampung, berbeda dengan bahasa warga Jakarta. Atau orang Jawa menggunakan bahasa Palembang.

Kedudukan sosial, dikenal pada bahasa Jawa seperti hasil penelitian C. Geertz dalam J.B. Price and Janet Holmes, ada tidak ragam. Pertama, penutur bukan priyayi namun cukup terpelajar dan tinggal di kota. Kedua, ragam yang dipakai para petani atau warga kota yang bukan terpelajar, dan ketiga ragam yang lazim dituturkan kaum priyayi.

Situasi berbahasa, disebut juga fungsiolek. Kalau perbedaan kedudukan sosial menimbulkan sosiolek, maka perbedaan situasi dan dengan siapa dan dalam konteks apa menimbulkan fungsiolek. Dikenal lima tingkat ragam bahasa, beku (froren), resmi (formal), usaha (consultative), santai (casual), dan akrab (intimate).
Perubahan karena berlalunya waktu, terlihat perbedaan pada masa 1939 prakemerdekaan, 145 awal kemerdekaan, dan 1995 masa orde baru. Perubahan dalam ejaan, seleksi kata, makna kata dan frase.

2.3 Bahasa dan Masyarakat
2.3.1 Pengelompokan Bahasa di Dunia
Tak dapat dipungkiri, bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi. Terlihat dari pengelompokan bahasa di dunia pada awalnya hanya terdapat satu bahasa moyang atau maksimum lima bahasa utama. Perkembangan dan perubahan kehidupan sosial manusia, gaya dan selera berbahasa, perpindahan penduduk serta rintangan-rintangan alam dan geografis mendorong lahirnya dialek dan terjadinya penyimpangan-penyimpangan bahasa yang pada gilirannya memunculkan bahasa baru.

Menurut Paul (2002:34) kenyataan bahwa semua bahasa bisa dipelajari oleh manusia dapat dijadikan bukti bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip paling dasar dan universal dari bahasa terdiri dari hanya satu perangkat gabungan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki setiap makhluk manusia sejak awal keberadaannya.

Dikenal ada lima rumpun bahasa utama di dunia yakni, Proto Indo-Eropa, Eurasia, Pasifik, Afrika dan Amerika (Indian)
2.3.1.1 Rumpun Indo Eropa
Terdiri dari dari sepuluh rumpun, yakni Anatolia, Tokharia, Albania, Armenia, Germania, Italia, Keltik, Yunani, Balto-Slavia, dan Indo-Irania.

2.3.1.2 Rumpun Non Indo-Eropa
Di kawasan Eropa, selain rumpun bahasa Indo Eropa terdapat kelompok Basque yang digunakan di daerah Pirenea serta kelompoka Finno-Urgik.

2.3.1.3 Pasifik
Bahasa do Pasifik umumnya terbagi atas empat kelompok. Pertama, kelompok bahasa Aborigin Australia. Kelompok kedua, bahasa-bahsa Tasmania yang sudah punah. Ketiga adalah kelompok bahasa di daerah Pulau Papua serta pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Kelompok keempat adalah yang terbesar dinamai Pasifik disebur Melayu Polinesia. Kelompok ini terbagi lagi atas tiga subkelompok yakni: Indonesia, Melanesia dan Polinesia.

2.3.1.4 Afrika
Di Afrika, terbagi dua kelompok. Pertama, bahasa Afro-Asiatik, terdiri dari lima cabang bahasa yakni Semitik, Mesir, Berber, Kushtik, dan Chad.
Kelompok kedua, Congo-Niger di sebagian besar Afrika bagian selatan, dengan cabang utama bahasa Bantu.
Diantara kelompok Afro-Asiatik dan Congo-Niger ditemukan tiga kelompok lainnya, yakni Chari-Nil, Songhai, dan Sahara Tengah.

2.3.1.5 Amerika (Indian)
Di Amerika Selatan dikenal bahasa Quechua di Peru. Juga Chibcha, Huelche, Kariba, Pano, Jivaro, Tukano, Arawaka, dan Tupi-Guarani.
Di Amerika tengah, ada bahasa Maya dan Otomangia. Lalu di Amerika Utara ada bahasa Aleut Eskimo. Dua kelompok lainnya, Athabaska dan Algonkia.


2.3.2 Komunitas Bahasa
Paul (2002:38) mengungkapkan ada tiga pendekatan dalam memahami komunitas bahasa. Pertama dipandang dari segi bentuk bahasa yang dimiliki bersama. Kedua dari segi kaidah-kaidah yang mengatur sistem bahasa yang dimiliki, dan ketiga dari sudut pandang konsep kebudayaan yang dianut bersama.
Bahasa lah yang menjadikan suatu masyarakat menjadi sentripetal, artinya bahasa cenderung mengabsorbsi masyarakat menjadi satu kesatuan. Kesatuan masyarakat karena menganut norma-norma linguistik yang sama inilah yang disebut komunitas bahasa.
,
2.4 Sosiolinguistik dan Sosiologi Bahasa
2.4.1 Definisi
Berikut ini dikemukakan beberapa definisi sosiolinguistik. J.A. Fishman (dalam Suwito, 1985: 5) mendefinisikan sosiolinguistik dengan sebutan sosiologi bahasa. Kajian sistem bahasa yangn bahasa sebagai gejala sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dengan faktor sosial, seperti status sosial, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, tingkat ekonomi dan faktor situasional, yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa atau dirumuskan secara singkat dengan who speak, what language, to whom, and when.

Secara eksplisit Fishman mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi tentang katakteristik variasi bahasa, karakteristik fungsi bahasa, dan karakteristik pemakaian bahasa yang terjalin dalam interaksi, sehingga menyebabkan perubahan-perubahan antara ketiganya di dalam masyarakat tuturnya.

Rene Appel (dalam Suwito, 1985:5) mengungkapkan bahawa sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaiannya dalam masyarakat, sehingga bahasa dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian
dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Pemakaian bahasa (language use) merupakan bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkret.

Rumusan sosiolinguistik menurut Appel adalah studi tentang bahasa dan pemakaian bahasa dalam hubungannya denganmasyarakat dan kebudayaan.
Dell Hymes (dalam Rusyana, 1988 : 7) yang menitikberatkan kajian sosiolinguistik pada segi penggunaan bahasa dengan rumusan kemungkinan pemakaian data dan analisis linguistik dalam disiplin lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial, dan sebaliknya, pemakaian data dan analisis sosial dalam linguistik.

Abdul Chaer dan Agustina (1995:3) merumuskan sosiolinguistik sebagai gabungan dari kata sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia dalam masyarakat
dan mengenai lembaga-lembaga, serta proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Linguistik adalah ilmu bahasa atau kajian tentang bahasa, sehingga sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa di dalam masyarakat.

Tarigan (1989:7) merangkum semua pendapat tentang sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu melainkan sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.

2.4.2 Kedudukan Sosiolinguistik
Seperti telah disinggung di atas linguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur intern bahasa, atau disebut linguistik mikro, dengan cabang-cabangnya, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Kajian struktur bahasa yang melibatkan untuk di luar bahasa (struktur ekstern
bahasa) disebut linguistik makro. Bidang kajian linguistik makro dibagi ke dalam dua bidang, yaitu interdispliner, yaitu kajian ilmu bahasa dengan ilmu lain atau studi antarlimu, dan terapan, yaitu kajian atau hasil kajian bahasa yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis.

Yang tergolong dalam bidang interdisipliner antara lain fonetik (linguistik dan fisika), filsafat
bahasa (filsafat dan bahasa), sosiolinguistik (sosiologi dan linguistik), psikolinguistik (psikologi dan linguistik), dan etnolinguistik (etnologi dan linguistik). Yang termasuk dalam bidang terapan antara lain pengajaran bahasa (kajian linguistik digunakan untuk memecahkan masalah belajar atau
penguasaan bahasa), penerjemahan (kajian linguistik digunakan untuk memecahkan masalah alih bahasa), dan leksikografi (hasil kajian bahasa digunakan untuk menyusun kamus).

Dengan demikian jelas bahwa sosiolinguistik merupakan kajian linguistik makro dan bersifat interdisipliner, merupakan studi antarilmu sosiologi dan linguistik.

2.3 Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, linguistik itu dalam dua bagian besar. Yang pertama mikrolinguistik, mempelajari bahasa secara internal, dari dalam sistem bahasa itu sendiri. Lalu makrolinguistik, menganalisis bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktror eksternal, di luar sistem bahasa

Variasi bahasa itu terbagi dua, yakni variasi sistemik dan variasi ekstrasistemik. Variasi sistemik disebut juga variasi internal, karena hanya terjadi lingkup unsur-unsur kebahasaan itu sendiri, misalnya pada unsur fonem, morfem, tata kalimat, dan sebagainya. Sementara variasi ekstrasistemik, perubahan yang bersumber dari luar sistem bahasa. Disebut juga variasi eksternal. Variasi ini terjadi karena berbagai faktor, seperti keadaan geografis, konteks sosial, fungsi atau tujuan komunikasi dan faktor perkembangan bahasa dalam kurun waktu yang lama.

Perkembangan dan perubahan kehidupan sosial manusia, gaya dan selera berbahasa, perpindahan penduduk serta rintangan-rintangan alam dan geografis mendorong lahirnya dialek dan terjadinya penyimpangan-penyimpangan bahasa yang pada gilirannya memunculkan bahasa baru. Hal ini membuat adanya rumpun bahsa utama di dunia dan terjadinya komunitas bahasa.

Sosiolinguistik disebut juga dengan sebutan sosiologi bahasa. Kajian sistem bahasa sebagai gejala sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dengan faktor sosial, seperti status sosial, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, tingkat ekonomi dan faktor situasional, yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa atau dirumuskan secara singkat dengan who speak, what language, to whom, and when.




Daftar Pustaka

Chaer, Abdul dan Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Nababan, P.W.J. 1994. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Gramedia: Jakarta.

Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik: Memahami bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan. Kesaint Blanc: Jakarta.


Rusyana, Yus. 1988. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.

Tarigan, Henry Guntur. 1989. Pengajaran Kedwibahasaan Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Depdikbud: Dirjen Dikti, P2LPTK.

Analisis Butir Soal

ANALISIS BUTIR SOAL




Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Evaluasi Pengajaran Bahasa Indonesia
Dosen Pengasuh
Dr. Ratu Wardarita, M.Pd
Drs. Sjech Dullah, M.Pd


Oleh
Muhamad Nasir
20076011041











PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHSA
BKU PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
1. Pendahuluan

Tes sebagai alat pengukur hasil belajar siswa diharapkan mampu memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Artinya alat tes dapat memberikan informasi tentang siswa sesuai dengan keadaan yang mendekati sesungguhnya.
Agar tes dapat memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat penilaian yang baik. Untuk keperluan itu, kita membutuhkan informasi apakah alat tes yang disusun telah memenuhi syarat ”baik” yang dimaksud. Dengan kata lain, diperlukan suatu aktivitas penilaian terhadap alat tes untuk mendapatkan informasi tentang ”baik tidaknya” alat yang telah disusun itu. Sebagai contoh, sebuah alat tes dicobakan di kelas. Hasil tes menunjukkan bahwa semua siswa tidak ada yang dapat mengerjakan butir-butir tes itu dengan betul lebih dari separuh. Dalam hal ini apakah semua siswa tersebut bodoh? Jawabannya adalah tidak, karena mungkin saja memang soalnya terlalu sulit. Sebaliknya jika semua siswa hampir 90% dapat mengerjakan butir tes tersebut secara tepat, apakah kita akan mengatakan bahwa siswa di kelas tersebut pandai semua? Jawabnya adalah tidak, karena mungkin saja soalnya terlalu mudah.
Sebuah alat tes yang baik harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu alat tes haruslah tidak terlalu mudah atau terlalu sulit. Alat tes yang baik harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi kelayakan, kesahihan, keterpercayaan, ketertafsiran, dan kebergunaan (Tuckman, 1975:209) dan efektivitas butir-butir soalnya. Efektivitas butir soal dipakai sebagai penentuan kelayakan butir-butir tes dari segi tingkat kesulitan, daya beda, dan efektivitas distraktor.

2. Analisis Butir Soal
Untuk menguji tingkat keterpercayaan suatu tes, biasanya dilakukan uji coba tes terhadap sejumlah subjek yang bersifat tipikal dengan populasi yang akan dites. Dengan sifat tifikal dimaksukan subjek yang mempunyai persamaan sifat dan kemampuan dengan subjek polulasi. Hasil uji coba tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas variasi butir-butir tes melalui kerja analisis butir soal.
Berdasarkan analisis butir soal akan dapat diperbaiki dan ditingkatkan tingkat keterpercayaan sebuah tes, tes yang telah dipergunakan sebelumnya.

Analisis butir soal merupakan analisis hubungan antara skor-skor butir soal denga skor keseluruhan, membandingkan jawaban siswa terhadap suatu butir soal dengan jawaban terhadap kese luruhan tes (Tuckman, 1975:271). Tujuan analisis butir soal adalah membuat tiap butir soal itu sebagai alat pengukuran, karena suatu alat tes, jika tidak diuji, efektivitas pengukuran tidak dapat ditentukan secara memuaskan ( Noll, 1979:207).


Analisis butir soal dilakukan untuk mengetahui tingkat kesulitan tiap butir soal, daya pembeda, dan efektivitas butir-butir pengecoh (distractor). Ketiga hal tersebut akan penulis paparkan pada makalah ini. Penulis mengambil sampel siswa kelas XI SMA Tamansiswa Palembang yang terdiri dari 20 orang siswa. Untuk soal tesnya penulis mengambil soal bahasa Indonesia yang baru saja diujikan pada tanggal 2 Juni 2008 yang lalu pada ujian Mid Semester.
Langkah-langkah yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
1. Penulis menentukan sampel siswa yang akan dianalisis yaitu sebanyak 20 orang siswa.
2. Penulis mengambil soal tes bahasa Indonesia sebanyak 20 soal yang telah diujikan.


3. Teknik Analisis Data Tes
Untuk menentukan nilai tes dalam tes objektif, pengolahannya menggunakan rumus
sebagai berikut:

Keterangan:
N: Nilai siswa
B: Jumlah jawaban yang benar
S: Jumlah soal

4. Hasil Uji Coba Instrumen
Hasil uji coba instrument penulis lakukan terhadap siswa kelas XI SMA Taman siswa Palembang yang berjumlah dua puluh orang. Jumlah soal instrumen yang di ujicobakan kepada siswa tersebut adalah dua puluh soal tes objektif.

5. Hasil Uji Coba Instrumen Tes Objektif
Hasil uji coba instrumen tes objektif dapat diketahui melalui analisis soal mengenai indeks kesukaran dan indeks daya pembeda soal. Rumus yang digunakan untuk mencari IF dan ID adalah sebagai berikut:

Keterangan:
IF : Indeks tingkat kesukaran yang dicari
ID : Indeks daya pembeda yang dicari
FH : Jumlah jawaban betul kelompok tinggi
FL : Jumlah jawaban betul kelompok rendah
N : Jumlah siswa kedua kelompok
n : Jumlah siswa kelompok tinggi atau rendah
Untuk mengetahui apakah tes objektif layak digunakan dalam penelitian, dapat dilihat pada tabel berikut ini:

ANALISIS BUTIR SOAL TES OBJEKTIF KELOMPOK TINGGI DAN KELOMPOK RENDAH UNTUK PERSIAPAN PERHITUNGAN INDEKS TINGKAT KESUKARAN DAN DAYA PEMBEDA

Kelompok Tinggi
Nama Siswa Nomor Butir Soal (item) Jumlah Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Ahmad 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 19

Basarul 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 19

Beni 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 18

Johan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 18

Hendra 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 18

Sarkowi
1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 17
Hidayat 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 17
Rosmiati 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 17
Marbiah 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 17
Lindawati 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 15
Jumlah 10 7 10 8 10 9 9 8 10 10 9 9 8 4 6 10 10 10 8 10 175






ANALISIS BUTIR SOAL TES OBJEKTIF KELOMPOK TINGGI DAN KELOMPOK RENDAH UNTUK PERSIAPAN PERHITUNGAN INDEKS TINGKAT KESUKARAN DAN DAYA PEMBEDA

Kelompok Rendah
Nama Siswa Nomor Butir Soal (item) Jumlah Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Adi Pratama 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 14

Saini 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 14

Erni Puspa 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 12

Pepen Aulia 0 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 12

Azhar Rahman 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 11

Rosalinda 1 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 9
Aprilianti. S 1 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 `1 0 0 0 0 1 1 0 8
Titin Mularti 1 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 6
Yadi Kesuma 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 5
Hera Afandi 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 5
Jumlah 8 8 4 6 5 4 6 4 6 5 4 4 5 3 3 4 4 5 4 4 96











PERHITUNGAN INDEKS TINGKAT KESUKARAN (IF) DAN DAYA PEMBEDA (ID) BUTIR SOAL OBJEKTIF

No FH FL IF Nilai ID Nilai Kategori Layak
1 10 8
0,90
0,40 Mudah Tidak
2 7 8
0,75
0,40 Mudah Layak
3 10 4
0,50
0,30 Sedang Layak
4 8 6
0,80
0,40 Mudah Layak
5 10 5
0,60
0,40 Sedang Layak
6 9 4
0,30
0,20 Sukar Tidak Layak
7 9 6
0,60
0,40 Sedang Layak
8 8 4
0,30
0,20 Sukar Tidak Layak
9 10 6
0,30
0,60 Sukar Layak
10 10 5
0,80
0,40 Mudah Layak
11 9 4
0,80
0,40 Mudah Layak
12 9 4
0,30
0,20 Sukar Tidak Layak
13 8 5
0,80
0,40 Sedang Layak
14 4 3
0,80
0,40 Mudah Layak
15 6 3
0,30
0,20 Sukar Tidak Layak
16 10 4
0,80
0,40 Mudah Layak
17 10 4
0,30
0,20 Sukar Tidak Layak
18 10 5
0,30
0,20 Sukar Tidak layak
19 8 4
0,30
0,60 Sukar Layak
20 10 4
0,80
0,40 Mudah L:ayak



Nurgiyantoro (1993:141) mengemukakan, ”Soal dikatakan layak apabila IF= 0,15 sampai dengan 0,85 dan mempunyai ID= 0,25 sampai dengan 1,00. Butir soal yang indeks daya beda kurang dari 0,25 tidak layak, karena itu perlu direvisi atau diganti”.
Menurut Arikunto (2006:210) adalah sebagai berikut:
Menurut ketentuan yang sering diikuti, Indeks kesukaran sering diklasifikasikan soal dengan P (IF) 0,00 sampai 0,30 adalah sukar, soal dengan P (IF) 0,31 sampai 0,70 adalah sedang, soal dengan P (IF) 0,71 sampai 1,00 adalah mudah. Walaupun demikian ada yang berpendapat bahwa soal-soal yang dianggap baik, yaitu soal-soal sedang, adalah soal-soal yang mempunyai indeks kesukaran 0,30 sampai 0,70”. Perlu diketahui bahwa soal-soal yang terlalu mudah atau terlalu sukar, lalu tidak berarti tidak boleh digunakan.

Dari tabel di atas dapat di ketahui bahwa soal yang sukar delapan buah masing-masing nomor 6, 8, 9, 12, 15, 17, 18, 19, soal yang sedang empat buah masing-masing nomor soal 3, 5, 7, 13 dan yang mudah delapan buah masing-masing nomor 1, 2, 4, 10, 11, 14, 16,



6. Perhitungan Reabilitas Tes Objektif
Rumus yang digunakan untuk menghitung simpangan baku (S) adalah sebagai berikut:

Keterangan:
S : Simpangan baku
X : Nilai rata-rata
p : Proporsi jawaban benar
q : Proporsi jawaban salah
N : Banyaknya subjek pengikut tes
: Kuadrat soal total
















ANALISIS BUTIR SOAL TES OBJEKTIF UNTUK PERSIAPAN PERHITUNGAN RELIABILITAS
No Urut Subjek Nomor Butir Soal (item) Jumlah Jumlah Kuadrat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 (X) (X2)
1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 17 289
2 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 16 256
3 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 0 15 225
4 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 0 1 1 1 14 196
5 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 14 196
6 0 1 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 12 144
7 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 8 64
8 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7 49
9 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 7 49
10 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 5 25
Jumlah 8 8 5 8 6 3 6 3 7 8 8 3 6 8 3 6 3 3 7 6 115 1494
p 0,8 0,8 0,5 0,8 0,6 0,3 0,6 0,3 0,7 0,8 0,8 0,3 0,6 0,8 0,3 0,6 0,3 0,3 0,7 0,6
q 0,2 0,2 0,5 0,2 0,4 0,7 0,4 0,7 0,3 0,2 0,2 0,7 0,4 0,2 0,7 0,4 0,7 0,7 0,3 0,4
∑pq 0,16 0,16 0,25 0,16 0,24 0,21 0,24 0,21 0,21 0,16 0,16 0,21 0,24 0,16 0,21 0,24 0,21 0,21 0,21 0,24 (∑pq) 4,09

= 4,14

Berdasarkan perhitungan diketahui:
n = 20 S = 4,14
X = 115 ∑pq = 4,09

Dari data di samping dimasukkan ke dalam rumus K-R.20

Keterangan:
: Reabilitas tes secara keseluruhan
S : Simpangan baku
∑pq : Jumlah hasil perkalian antara p dan q
n : Banyaknya item (butir soal)
= 1,05X0,76
= 0,80
Dari perhitungan di atas diperoleh reliabilitas tes secara keseluruhan = 0,80. Ini berarti reabilitas tinggi.










Lampiran:
Soal

1. Makna kata yang sebenarnya atau lugas disebut?
a. Makna denotatif c. Makna konotatif
b. Makna kias d. Makna tak sebenarnya

2. Aminah bunga desanya. Kata bunga dalam kalimat tersebut mempunyai makna?
a. lugas c. konotatif
b. sebenarnya d. dalam kamus

3. Kata tawar dalam kalaimat ”Kata-katanya tawar mengalami perubahan makna secara?
a. meluas c. asosiasi
b.menyempit d. amelioratif

4. Kaum wanita lebih senang dipanggil dengan wanita daripada perempuan, karena ......
a. kata wanita lebih tepat
b. kata wanita menggambarkan kecantikan
c. kata wanita lebih romantis
d. nilai rasa wanita dipandang lebih tinggi
5. Kata-kata yang mempunyai makna sama tetapi bentuknya berbeda-beda disebut?
a. homonim c. polisemi
b. sinonim d.homofon


6. Bagai hujan jatuh ke pasir.
. Arti peribahasa di atas adalah?
a. pekerjaan yang sia-sia c. Keadaan yang wajar
b. pekerjaan yang rumit d. Kebaikan yang berbalas

7. Arti denotatif mengamankan adalah?
a. menangkap c.menahan
b. memenjarakan d. menentramkan

8. Sinonim kata makan di bawah ini, yaitu?
a. makanan c. santap
b. amblas d. hantam

9. Orang yang tinggi hati tak mau dilebihi orang lain.
Kata yang bergaris bawah itu memiliki arti?
a. denotatif c. konotatif
b. imajinatif d. idiomatif

10. Kata karangan bunga dalam puisi karya Taufik Ismail mengandung makna?
a. makna lambang c. Makna kias
b. makna utuh d. Makna lugas

11. Contoh kata yang bersinonim di bawah ini adalah?
a. tewas dan gugur c. khusus dan khas
b. gadis dan jejaka d. Selendang dan kain

12. Yang dimaksud dengan homonim yaitu kata yang ....
a. sebunyi dan searti c. Sepadan dan searti
b. sebentuk, tak searti d. Sejenis dan searti

13. Ia menyapu teras rumahnya.
Ayahnya pejabat teras.
Kata teras pada kalimat di atas adalah contoh?
a. homograf c. homonim
b. homofon d. antonim

14. Ungkapan makan tanah berati?
a. banyak tanahnya c. Miskin sekali
b. bersawah d. Berladang

15. Kata kendala akhir-akahir ini sering dipergunakan sebagai pengemban makna?
a. pengaruh c. hambatan
b. tunjangan d. rancangan

16. Dalam bahasa Indonesia, kata asing machine menjadi mesin, gejala serupa itu disebut?
a. sinkope c. apokope
b. adaptasi d. kontaminasi

17. Sudah berulang kali mencuri mangga tetangganya.
Penurunan dua uangkapan yang berlainan menjadi satu ungkapan baru seperti contoh di atas disebut?
a. analogi c. kontaminasi
b. asimilasi d. Disimilasi

18. Istilah ”take off” artinya?
a. tinggal lasndasan c. tinggal landas
b. tinggalkana landasan d. Tinggalkan landas

19. Contoh kata bunga mengandung arti denotatif di bawah ini?
a. Pada musim bunga pemandangan indah di daerah itu.
b. Suku bunga bank sedang naik
c. Ia bunga di desanya
d. Orang itu meminta bunga limabelas persen dari hasilnya.

20. Dalam bahasa Indonesia kata anggota sering disebut anggauta. Proses ini disebut?
a. monoftongisasi c. asimilasi
b. diftongisasi d. patalisasi

Kerjasama, kesopanan dan Parameter Pragmatik

Prinsip Kerjasama, Kesopanan, dan Parameter Pragmatik







Oleh
Muhamad Nasir
NIM 20076011041




Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Analisis Wacana
Dosen Pengasuh
Dr. Ratu Wardarita, M.Pd.







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
BKU PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2008
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL .......................................................................................... I
DAFTAR ISI ........................................................................................................... II


1. Pendahuluan ..................................................................................................... 1
2. Prinsip Kerjasama ............................................................................................. 2
2.1 Maksim Kuantitas .......................................................................................... 2
2.2 Maksim Kualitas ............................................................................................ 3
2.3 Maksim Relevansi .......................................................................................... 4
2.4 Maksim Pelaksanaan ...................................................................................... 5
3. Prinsip Kesopanan ............................................................................................ 6
3.1 Maksim Berskala Dua Kutub ........................................................................ 7
3.1.1 Maksim Kebijaksanaan .............................................................................. 7
3.1.2 Maksim Penerimaan .................................................................................... 8
3.1.3 Maksim Kemurahan ................................................................................... 8
3.1.4 Maksim Kerendahan Hati .......................................................................... 9
3.2 Maksim Berskala Satu Kutub ......................................................................... 9
3.2.1 Maksim Kecocokan ..................................................................................... 9
3.2.2 Maksim Kesimpatian ................................................................................... 10
4. Parameter Pragmatik ........................................................................................ 11
4.1 Jarak Sosial ..................................................................................................... 12
4.2 Jarak Sosial ..................................................................................................... 12
4.3 Peringkat Tindak Tutur ................................................................................... 12
5. Penutup ............................................................................................................. 13

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 14





1. Pendahuluan

Berbahasa adalah aktivitas sosial. Karenanya kegiatan berbahasa baru terwujud bila melibatkan manusia. Menurut Wijana (1996:45), “Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.”

Allan (dalam Wijana:1996:45) menambahkan bahwa, “Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual.”

Dalam berbicara, tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual. Tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal.

Bila sebagai retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip kerjasama (cooperative principle). Dalam komunikasi yang wajar, seorang penutur mengartikulasikan ujaran untuk mengomunikasikan sesuatu kepada lawan bicara dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang disampaikan.

Pertuturan yang wajar terbentuk karena penutur dan lawan tutur melakukan kerjasama. Setiap peserta pertuturan sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.

Lebih tegas lagi, dipaparkan Wijana (1996:46) bahwa ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar.

Sementara sebagai retorika personal, menurut Wijaya (1996:55), pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan. Prinsip ini, berkaitan dengan diri sendiri dan orang lain. Penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar lawan tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun.

Prinsip kesopanan diterapkan dalam tindak tutur sesuai beberapa indikator. Karenanya, diperlukan strategi pemilihan tingkat kesopanan yang berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan parameter pragmatik. Wijana (1996:63) memberikan contoh bahwa dalam memerintah pembantu, tuturan yang dipilih adalah Sapulah lantai ini, meskipun dinilai kurang sopan dibanding Apakah Anda bersedia menyapu lantai ini?

Berdasarkan hal-hal di atas, dalam makalah ini penulis mencoba membahas persoalan yang berkaitan dengan prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik.

2. Prinsip Kerjasama

Di dalam komunikasi yang wajar seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicara dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuntutannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise) dan selalu pada persoalan (stright forwarad) sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya saja.

Tuturan Tolong! Dan Dapatkah Anda Menolong saya? Dapat dipergunakan untuk situasi dan keperluan yang berbeda. Untuk keadaan darurat, misalnya seseorang yang sedang berusaha menyelamatkan diri karena akan tenggelam, tentu akan memilih bentuk ujaran pertama. Tetapi bila situasinya tidak begitu mendesak, tentu yang dipilih adalah ujaran kedua.

Akan sangat aneh kalau seseorang yang akan tenggelam di kolam renang meminta bantuan dengan menggunakan ujaran kedua. Begitupun sebaliknya, seseorang yang yang memohon bantuan tidak selayaknya mengucapkan ujaran pertama dengan suara dan intonasi yang sama. Bila terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai penutur. Kalau implikasi itu tidak ada maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif.

Atau secara ringkas, Wijana (1996:46) menyimpulkan bahwa ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.

Grice dalam Wijana mengemukakan bahwa dalam melaksanakan prinsip kerjasasama, ada empat maksim percakapan (conversational maxim) yang harus dipatuhi. Yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim elevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner). Maksim, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (2003:704) diartikan, “Pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran unum tentang sifat manusia.....”.

2.1 Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya

Penutur akan memilih kalimat: Tetangga saya hamil, dibandingkan Tetangga saya yang perempuan hamil. Pada tuturan kedua, penggunaan yang perempuan sifatnya berlebih-lebihan. Kalimat pertama, lebih ringkas dan tidak menyimpangkan nilai kebenaran (truth value). Semua orang tentu sudah tahu bahwa hanya wanitalah yang mungkin hamil.

Contoh lain, dapat dilihat pada dialog berikut ini.
Pertama:
+ Siapa namamu?
-Ani
+Rumahmu dimana?
-Klaten, tepatnya di Pedan
+Sudah bekerja?
-Belum, masih mencari-cari

Kedua:
+Siapa namamu?
-Ani, rumah saya di Klaten, tepatnya Pedan. Saya belum bekerja. Sekarang saya masih mencari pekerjaan. Saya anak bungsu dari lima bersaudara. Saya pernah kuliah di UGM, karena tidak ada biaya, saya berhenti kuliah.

Pola tuturan pada dialog pertama bersifat ringkas. Memberikan kontribusi yang secara kuantitas memadai, atau mencukupi pada setiap tahapan komunikasi. Sementara pada dialog kedua tidak kooperatif karena memberikan kontribusi yang berlebih-lebihan. Karena informasi tersebut belum dibutuhkan pada tahap itu.

Berbeda kalau pertanyaan yang diajukan Coba ceritakan siapa kamu! Dalam konteks wawancara untuk melamar suatu pekerjaan, misalnya, maka jawaban tersebut bersifat kooperatif. Dan jawaban pada kalimat pertama tidak kooperatif karena tidak memadai dibandingkan apa yang dibutuhkan pewawancaranya.

Bagaimana maksim kuantitas ini sesungguhnya, Grice (dalam Wijana, 1996:52) membuat analogi. Jika Anda membantu saya memperbaiki mobil, saya mengharapkan kontribusi Anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan empat obeng, saya mengharapkan Anda mengambilkan saya empat obeng bukannya dua atau enam.

2.2 Maksim Kualitas

Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa ibukota Indonesia Jakara, bukan kota-kota yang lain. Kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Bila terjadi sebaliknya, tentu ada alasan mengapa hal demikian terjadi.

Contoh:
Guru: Coba kamu Andi, apa ibukota Bali?
Andi: Surabaya, Pak guru.
Guru: Bagus, kalau begitu ibukota Jawa Timur Denpasar ya?

Dalam wacana di atas tampak guru memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas. Guru mengatakan ibukota Jawa Timur Denpasar bukan Surabaya. Jawaban in diutarakan sebagai reaksi terhadap jawaban Andi yang salah. Dengan jawaban ini sang murid sebagai individu yang memiliki kompetensi komunikatif (communicative competence) kemudian secara serta merta mencari jawaban mengapa gurunya membuat pernyataan yang salah. Kata bagus yang diucapkan gurunya tidak konvensional karena tidak digunakan seperti biasanya untuk memuji, sebaliknya untuk mengejek.
Atau pada wacana lainnya, pelanggaran maksim kualitas ditujukan untuk mendapatkan efek lucu (comic effect).
+ Ini sate ayam atau kambing.
- Ayam berkepala kambing.

Untuk lebih memudahkan memahami maksim kualitas, Grice (dalam Wijana, 1996:52) membuat analogi. Menurutnya, “Saya mengharapkan kontribusi Anda sungguh-sungguh, bukan sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan Anda memberi saya garam. Jika saya membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan Anda mengambilkan sendok-sendokan atau sendok karet.”

2.3 Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikamn kontribusi yang reklevan dengan masalah pembicaraan.
Contoh:
+ Ani, ada telepon untuk kamu.
- Saya lagi di belakang, Bu.

Atau
+ Pukul berapa sekarang, Bu.
- Tukang koran baru lewat.
Jawaban dalam wacana di atas sepintas tidak berhubungan, tetapi bila dicermati
, hubungan implikasinya dapat diterangkan. Jawaban pada wacana pertama mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu secara lamngsung. Secara tidak langsung menyuruh/meminta tolong agar ibunya menerima telepon itu.
Begitu juga dengan wacana kedua, secara eksplisit tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Tetapi dengan memperhatikan kebiasaan tukang koran mengantarkan surat kabar atau majalah kepada mereka, dapat diketahui inferensi pukul berapa ketika itu. Penutur dan lawan tutur memiliki asumsi yang sama sehingga hanya dengan mengatakan Tukang koran baru lewat, dianggap sudah menjawab pertanyaan yang diajukan.

Kedua contoh itu mengisyaratkan bahwa kontribusi peserta tindak tutur relevansinya tidak selalu pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada ada yang diimplikasikan ujaran itu.
Berbeda dengan wacana berikut ini.

+ Pak ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.
- Yang menang apa hadiahnya
Tidak selayaknya seorang ayah mempersamakan peristiwa kecelakaan dengan sebuah pertandingan atau kejuaraan. Dalam kecelakaan tidak ada pemenang dan tidak ada pula pihak yang menerima hadiah.Semua pihak akan menderita kerugian bahkan kemungkinan salah satu atau kedua pihak meninggal dunia. Kecuali untuk melucu, hubungan dalam wacana di atas tidak hubungan implikasinya.

Untuk maksim relevansi, Grice (dalam Wijana, 1996:52) membuat analogi sebagai berikut. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya mencampur bahan-bahan adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda terakhir ini saya butuhkan pada tahap berikutnya.

2.4 Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan serta runtut.
Dalam hal ini Parker (dalam Wijana, 1996:50) memberikan contoh:
+ Lets stop and get something to eat.
- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S.

Dalam contoh di atas pertanyaan dijawab secara tidak langsung dengan mengeja satu per satu kata Mc Donalds. Penyimpangan dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui maksudnya. Anak-anak dalam batas umur tertentu memang akan kesulitan atau tidak mampu menangkap makna kata yang dieja hurufnya satu per satu.

Contoh lain, orang tua biasanya melakukan hal yang sama kalau anaknya meminta barang mainan yang mahal saat berbelanja di toko swalayan. Dimaksudkan untuk mengecoh anaknya. Seorang ibu sering mengucapkan tuturan:

Nanti kalau di Gardena jangan lewat di tempat b-o-n-e-k-a ya!

Seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang digunakan lawan bicaranya secara taksa (ambigu) berdasarkan konteksnya.
Contoh:
+ Masak Peru ibukotanya Lima... Banyak amat
- Bukan jumlahnya, tetapi namanya.

+ Saya ini pemain gitar solo
- Kebetulan saya orang solo. Coba hibur saya dengan lagu-lagu daerah Solo.

Bila konteks pemakaian dicermati, kata lima yang diucapkan tidak mungki ditafsirkan atau diberi makna nama bilangan. Dan solo yang bermakna tunggal juga tidak akan ditafsirkan nama kota di Jawa Tengah. Karena menurut Wijana (1996:50) dalam pragmatik konsep ketaksaan (ambigu) tidak dikenal.

Maksim pelaksanaan juga mengharuskan para peserta pertuturan berbicara secara runtut.
Contoh:
Margie was crying. Her ballon had burst after hitting a branch. The wind had carried into a tree. It had suddenly caught in, though she’d been holding tightly onto it. It was Sunday, and her father had bought her e beautiful news ballon.

Wacana di atas, dinilai tidak runtut. Akan lebih baik kalau menggunakan wacana berikut ini yang jauh lebih logis.

It was Sunday, and her father had bought her a beautiful new ballon. It had suddenly caught it, thought she’d been holding tightly onto it. The windf had carried it into a tree. Her ballon had burst after hitting a branch. Margie was crying.

Untuk maksim pelaksanaan/cara, Grice (dalam Wijana, 1996:53) menganalogikan sebagai berikut. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi yang harus dilakukannya dan melaksanakannya secara rasional.

3. Prinsip Kesopanan

Sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan ini menurut Wijana 91996:55) berhubungan dengan dua peserta percakapan yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yanfg dibicarakan penutur dan lawan tutur.
Sebagai anggota masyarakat bahasa, penutur tidak hanya terikat pada hal-hal yang bersifat tekstual, yakni bagaimana membuat tuturan yang mudah dipahami oleh lawan tuturnya, tetapi juga terikat pada aspek-aspek yang bersifat interpersonal. Untuk itu, penurut harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar lawan tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun. Teori kesopanan Leech dengan berbagai maksimnya memberikan tuntunan tentang cara-cara bertutur secara sopan.

Maksim dalam prinsip kesopanan terbagi dua yakni maksim berskala dua kutub
(bipolar scale maxim) dan maksim yang berskala satu kutub (unipolar scale maxim).

Dalam prinsip kesopanan, digunakan bentuk-bentuk ujaran dalam mengekspresikan kesopanan. Yakni bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Ujaran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran komisif, berfungsi menyatakan janji atau penawaran. Ujaran ekspresif, digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif, lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.

3.1 Maksim Berskala Dua Kutub

Maksim ini adalah yang berhubungan keuntungan atau kerugian diri sendiri dan orang lain (bipolar scale maxim). Maksim ini terbagi dua. Pertama, maksim yang berpusat pada orang lain (other centred maxim), terdiri dari maksim kebijaksanaan dan kemurahan. Kedua, maksim yang berpusat pada diri sendiri (self centred maxim).
Terdiri dari maksim penerimaan dan maksim kerendahan hati.

3.1.1 Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini diungkapkan dengan tutuan impositif dan komisif. Menggariskan peserta tutur untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

Leech (dalam Wijana (1996:56) membuat contoh tuturan yang memiliki tingkatan kesopanan yang berbeda.
- Answer the phone!
- Will you answer the phone?
- Can you answer the phone?
- Would you mind answering the phone?

Atau dalam bahasa Indonesia, Wijana membuat contoh tuturan yang tidak sopan dan sopan.
- Datang ke rumah saya!
- Datanglah ke rumah saya!
- Silakan (Anda) datang ke rumah saya!
- Sudilah kiranya (Anda) datang ke rumah saya.
- Kalau tidak keberatan, sudilah kiranya (Anda) datang ke rumah saya.


Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan keopada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutrakan secara tidak langsung lebih sopan dibandingkan yang diutarakan secara langsung. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih sopan dibanding dengan kalimat perintah.

Bila dalam berbicara penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian dirinya. Ini lazim disebut paradoks paragmatik (pragmatic paradox).

Bandingkan dua wacana di bawah ini. Yang pertama mematuhi paradoks pragmatik, sementara yang kedua melanggar.

+ Mari saya bawakan tas Anda.
- Jangan, tidak usah.
+ Mari saya bawakan tas Anda.
- Ini, begitu dong jadi teman.

3.1.2 Maksim Penerimaan

Maksim ini diutarakan dengan komisif dan impositif. Mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

Contoh maksim yang dinilai kurang sopan karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya dengan menyusahkan orang lain.
- Anda harus meminjami saya mobil.
- Saya akan datang ke rumahmu untuk makan siang.

Sementara berikut ini contoh kalimat berikut berusaha meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan kerugian diri sendiri.
- Saya akan meminjami Anda mobil.
- Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam.

3.1.3 Maksim Kemurahan

Maksim kerendahan hati diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat pun harus sopan.

Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat.

Maksim kemurahan ini terlihat pada wacana berikut, dimana penutur bersikap sopan dengan memaksimalkan keuntungan lawan tuturnya dan lawan tuturnya menerapkan paradoks pragmatik dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri sendiri.
+ Permainanmu sangat bagus.
- Tidak, saya kira biasa-biasa saja.

Berbeda dengan wacana berikut ini, dimana lawan tutur berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri dengan melanggar paradakos pragmatik sehingga dikategorikan tidak berlaku sopan.
+ Permainanmu sangat bagus.
- Jelas, siapa dulu yang main.

Berikut beberapa contoh kalimat dari yang termasuk tidak sopan hingga sopan.
- Masakanmu tidak enak.
- Masakanmu kurang enak.
- Masakanmu sungguh enak.

3.1.4 Maksim Kerendahan Hati

Maksim kerendahan hati diungkapkan dengan kalaimat ekspresif dan asertif. Bedanya, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Sementara maksim kemurahan berpusat pada orang lain. Maksim ini menuntut peserta pertuturan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh:
+ Betapa pandainya orang itu.
- Betul, dia memang pandai
+ Kau sangat pandai.
- Ya, saya memang pandai. (melanggar maksim kesopanan)
+Kau sangat pandai.
- Tidak, biasa saja. Itu hanya kebetulan. (memaksimalkan ketidakhormatan diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri)

3.2. Maksim Berskala Satu Kutub

Maksim ini adalah yang berhubungan dengan penilaian buruk baik penutur terhadap dirinya sendiri atau orang lain.

3.2.1 Maksim Kecocokan

Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka.
Contoh:
+ Bahasa Inggris sukar ya?
- Ya.
+ Bahasa Inggris sukar, ya?
- Siapa bilang, mudah kok.

Contoh pertama sopan, sementara contoh kedua tidak sopan karena memaksimalkan ketidakcocokan. Memang tidak selamanya senantiasa setuju dengan pendapat atau pernyataan lawan tutur. Namun, bisa dengan membuat pernyataan ketidaksetujuan atau ketidakcocokan partial (partial agreement) yang lebih sopan.
Contoh:
+ Bahasa Inggris sukar, ya?
- Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar dipelajari.
+ Drama itu bagus, ya?
- Ya, tetapi blocking pemainnya masih banyak kekurangan.

3.2.2 Maksim Kesimpatian

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapat kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan atau musibah, penurut layak turut berduka atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda simpati.
Contoh:
+ Aku lolos di UMPTN, Jon.
- Selamat, ya!
+ Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.
- Oh, aku turut berduka cita.
+ Aku gagal di UMPTN.
- Jangan sedih. Banyak orang yang seperti kamu.
+ Bibi baru-baru ini sudah tiada.
- Ikhlaskan saja, mungkin sudah takdir, Jon.

Bandingkan dengan contoh berikut yang melanggar maksim kesimpatian.
+ Aku gagal di UMPTN.
- Wah, pintar kamu. Selamat ya!
+Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.
- Aku ikut senang, Jon.


4. Parameter Pragmatik

Memperlakukan lawan tutur secara wajar dilakukan dengan semena-mena. Strategi pemilihan bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda-beda lawan tutur tidak kehilangan muka atau agar tuturan itu tidak menimbulkan muka negatif, selalu dilakukan dengan mempertimbangkan parameter-parameter pragmatik. Terdiri dari parameter jarak sosial, paramater status sosial, dan paramater peringkat tindak tutur.

Misalnya tuturan Apakah Anda bersedia menyapu lantai ini? Tidak akan dipilih tuan rumah untuk menyuruh pembantunya. Dia akan lebih senang menggunakan Sapulah lantai ini, yang bentuknya mungkin kurang sopan. Justru pemilihan bentuk yang lebih panjang dalam hal ini tidak mengenakkan pembantunya.

Hal-hal yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter pragmatik (pragmatic parameter). Dalam penggunaannya, parameter pragmatik ini harus digunakan secara cermat agar lawan tutur tidak kehilangan muka (face).

Goffman (dalam Wijana 1996: 1986:63) mengemukakan “dalam percakapan yang kooperatif para peserta percakapan menerima ‘muka’ yang ditawarkan oleh lawan bicaranya.”

Muka dalam hal ini adalah citra diri (self image) yang harus diperhatikan oleh lawan tutur. Muka itu berbea-beda, bergantung pada situasi pembicaraan. Buisa sebagai teman dekat, guru. Pada kesempatan lain, berupa kegembiraan, dan suatu saat berupa kemarahan, ataupun kesedihan.

Jadi, peserta pertuturan harus menafsirkan dan mehamai kata-kata yang diutarakan lawan tuturnya sesuai dengan ‘muka’ yang ditawarkannya.

Laver dan Trudgill (1979) menyamakan ‘muka’ ini dengan keadaan afektif (affective state) dan profil identitas (profil of identity) penutur. Lawan tutur harus menafsirkan wajah yang ditawarkan kepadanya.

Muka yang ditawarkan penutur memiliki dua kemungkinan, muka positif (positive face) dan muka negatif (negative face). Muka positif terwujud bila ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan dan sebagainya yang dimiliki seseorang dihargai oleh lawan tutur. Muka negatif adalah keinginan seseorang untuk tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan tuturnya.

Dalam konteks pemakaian bahasa, dua aspek ini dapat menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan bila pemuasan salah satu aspek mengandung pelanggaran terhadap yang lain. Seorang pembantu akan merasa risih bila majikannya berkata, Bersediakah Anda menyapu lantai kamar ini? Karena wajah possitif yang ditawarkannya tuanya tidak sesuai dengan atribut, prestasi atau milik lawan bicaranya. Begitu pula sebaliknya, seorang siswa tidak bisa menerima pernyataan temannya yang memerintahnya, Bersihkan meja itu, seolah-olah dia adalah pembantu.
Brown dan Levinson (1978) menunjukan secara meyakinkan bahwa penutur mempergunakan srategia linguistik yang berbeda-beda di dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya. Dalam hal ini, keduanya mengidentifikasi empat strategi dasar.
Yakni strategi 1 kurang sopan. Digunakan kepada teman akrab. Bantu aku.
Strategi 2 agak sopan. Digunakan kepada teman yang tidak (belum) akrab. Hei Heri, apakah kau dapat membantuku?
Strategi 3 sopan. Digunakan kepada orang belum dikenal. Maaf saya mengganggu, dapatkah engkau meminjamiku uang seribu rupiah?
Dan strategi 4, paling sopan. Kepada orang yang berstatus sosial lebih tinggi atau dihormati. Ini sangat terpaksa, tetapi saya sungguh perlu bantuan.
Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan tiga parameter pragmatik berikut.

4.1 Jarak Sosial
Tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

4.2 Status Sosial
Tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas kedudukan yang asimterik antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks pertuturan. Di ruang praktik seorang dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding seorang polisi. Akan tetapi, di jalan raya polisi dapat menilangnya bila sang dokter melakukan pelanggaran. Dalam knteks yang terakhir, polisi memiliki status sosial yang lebih tinggi.

4.3 Peringkat Tindak Tutur
Tingkat perangkat tindak tutur (rank rating) yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain. Misalnya dalam situasi normala meminjam mobil kepada seseorang mungkin dianaggap tidak sopan atau tidak mengenakkan. Tetapi, di dalam situasi yang mendesak semisal mengantar orang sakit keras, tindakan itu wajar-wajar saja.
Kejanggalan akan terjadi bila penutur menerapkan strategi-strategi diatas secara tidak tepat. Bila penutur menggunakan strategi 3 atau 4 kepada teman akrab, maka dia meperlakukan teman akrabnya itu sebagai orang yang belum pernah dikenalnya. Sebaliknya, bila dia menerapkan strategi 1 dan 2 kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi, ia memperlakukan lawan tuturnya sebagai teman dekat sehingg ucapannya akan dirasakan sanat merendahkan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemakai bahasa harus memilih strategi itu secara jitu. Pemilihan strtaegi yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan membawa akibat yang sama buruknya.

5. Penutup

Ada semacam prinsip kerjasama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar. Dalam melaksanakan prinsip kerjasasama, ada empat maksim percakapan (conversational maxim) yang harus dipatuhi. Yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).
Sebagai anggota masyarakat bahasa, penutur tidak hanya terikat pada hal-hal yang bersifat tekstual, yakni bagaimana membuat tuturan yang mudah dipahami oleh lawan tuturnya, tetapi juga terikat pada aspek-aspek yang bersifat interpersonal. Untuk itu, penurut harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar lawan tuturnya sebagai individu merasa diperlakukan secara santun.
Memperlakukan lawan tutur secara wajar dilakukan dengan semena-mena. Strategi pemilihan bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda-beda lawan tutur tidak kehilangan muka atau agar tuturan itu tidak menimbulkan muka negatif, selalu dilakukan dengan mempertimbangkan parameter-parameter pragmatik.
Hal-hal yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter pragmatik (pragmatic parameter). Dalam penggunaannya, parameter pragmatik ini harus digunakan secara cermat agar lawan tutur tidak kehilangan muka (face).














Daftar Pustaka


Alwi, Hasan, dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan III edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.

Grice, HP. 1975. “Logic and Conversation”. Syntac and Semantics, Speech Act 3. New York: Academnic Press.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.

Gugah Eksistensi Menulis Akademisi





Menggugah Eksistensi Menulis di Kalangan Akademisi*

Pendahuluan

“Menulis karya ilmiah populer di surat kabar tidak kalah pentingnya dengan menulis jurnal ilmiah atau buku,” demikian diungkapkan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, seorang akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Dipengoro, Semarang yang tak kurang dari 33 tahun menulis artikel di berbagai media massa.
Prof. Dr. F.G. Winarno, Guru Besar IPB berusia 64 tahun, mampu menulis 50 judul buku hanya dalam waktu 4 bulan, artinya per judul buku diselesaikannya rata-rata 2,5 hari. Berkat ‘kerajinannya’ menulis berbagai penghargaan diperolehnya. Salah satunya Award Follow International Academy Of Food Science and Technology yang merupakan pengukuhannya sebagai ahli pangan terkemuka di dunia pada 4 Oktober 1999.
Media massa sesungguhnya memang memberikan peluang kepada akademisi untuk menuangkan pemikirannya di halaman opini. Itu karena kapabilitas dan otoritas ini dimiliki oleh para dosen, para peneliti, dan akademisi lainnya. Dengan kapasitas ilmu yang dimiliki, mereka diharapkan mampu menuliskan berbagai gagasan dan informasi/pengetahuan yang bermanfaat dan mencerdaskan. Selain enak dibaca, juga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Keterbatasan wartawan terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan adalah hal yang wajar dan untuk memenuhi kekurangan itu, kalangan akademisilah yang mestinya banyak ‘turun gunung’. Kalaupun tempatnya terbatas, kini di era globalisasi, internet menyediakan peluang lebih besar melalui blog. Di seluruh dunia dalam sehari sedikitnya ada 75.000 blog baru muncul.
Gambaran di atas memberikan ilustrasi betapa pentingnya tradisi menulis itu bagi kalangan akademisi. Dan media massa telah memberikan kesempatan. Sayangnya, fakta yang ada ternyata hanya segelintir akademisi yang berkenan memanfaatkannya. Padahal, manfaat menulis itu cukup banyak. Makalah ini mencoba memberikan ‘sentilan’ agar para akademisi dapat menyadari pentingnya menulis.

Tradisi Menulis
Kalangan akademisi diharapkan memberikan kontribusi bagi perkembangan dan dinamika kehidupan. Tradisi meneliti, mengembangkan pengetahuan, serta memecahkan persoalan merupakan aktivitas yang tak pernah ‘kering’ dalam lingkungan akademisi.
Salah satu tanggung jawab penting akademisi sebagai intelektual dan profesional adalah menyebarluaskan pengetahuan, sehingga masyarakat tercerahkan. Dewasa ini masyarakat telah menjadikan surat kabar sebagai salah satu sumber informasi sekaligus rujukan opini penting setiap hari.
“Oleh karena itu, kaum intelektual sudah semestinya memerankan diri sebagai Intelektual Publik, yang bisa menulis tidak hanya di jurnal-jurnal ilmiah, melainkan juga aktif menulis berbagai pandangan, pembaharuan, gagasan, pengalaman dan pengetahuannya di media-media massa,” tulis Budhiana Kartawijaya, redaktur opini Harian Pikiran Rakyat.
Berbagai media-massa, menurutnya, sangat membutuhkan kontribusi para Intelektual Publik ini, sebab umumnya media massa tidak memiliki kapabilitas dan otoritas yang memadai untuk memenuhi harapan publik terhadap informasi dan gagasan keilmuan. Justru kapabilitas dan otoritas ini dimiliki oleh para dosen, para peneliti, dan akademisi lainnya. Dengan kapasitas ilmu yang dimiliki, mereka diharapkan mampu menuliskan berbagai gagasan dan informasi/pengetahuan yang bermanfaat dan mencerdaskan. Selain enak dibaca, juga bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Tingkat achievement yang dianggap paling tinggi saat ini adalah membagi ilmu dan pengalaman yang kita miliki kepada orang lain? Dengan menulis pula para akademisi dapat mengembangkan kemampuan berpikir dinamis, kemampuan analitis dan kemampuan membedakan berbagai hal secara akurat dan valid. Menulis pun akan meningkatkan rasa percaya diri. Lalu rasa percaya diri inilah yang akan memunculkan berbagai kreativitas dan rasa bahagia.
Mengapa ilmuwan paling hebat sekalipun harus menulis ilmiah populer? Sebab ia butuh orang awam untuk memahami ide dan studinya. Andai Albert Einstein masih hidup, pastinya beliau setuju dengan ide ini.

Ilmiah vs Populer
Kalangan ilmuwan atau akademisi sudah terbiasa dengan penulisan ilmiah. Tulisan jenis ini membutuhkan banyak referensi, data, informasi, sesuai dengan metodologi ilmiah yang dikenal dalam ranah keilmuwan. Tulisan jenis ini dibuat untuk dimuat dalam jurnal ilmiah, proposal pengajuan dana untuk riset, atau pemaparan hasil riset demi membuahkan persetujuan studi lanjutan oleh pimpinan institusi ilmuwan yang bersangkutan. Untuk kalangan mahasiswa, penulisan ilmiah juga dilakukan untuk membuat laporan laboratorium.
Sedangkan penulisan ilmiah populer ditujukan bagi media yang lebih luas cakupannya, seperti majalah ilmiah populer, surat kabar yang memiliki rubrik khusus sains dan teknologi, atau website sejenis. Tujuannya untuk membagi hasil riset atau studi atau sekadar opini mengenai suatu isu ilmiah kepada khalayak pembaca yang lebih luas dari sekadar komunitas sesama ilmuwan atau instansinya.
Walau berbeda sasaran, sesungguhnya penulisan ilmiah atau ilmiah populer sama-sama memiliki satu gol, yakni menghadirkan data atau ide secara detail sehingga pembaca mampu mengevaluasi validitas dan mengambil kesimpulan dari tulisan tersebut.
Jadi bisa dikatakan, keduanya memiliki pesyaratan yang sama pula, yaitu mudah dipahami oleh pembacanya. Karena pembacanya berbeda, yakni antara yang sesama ilmuwan di bidangnya dan publik umum, maka bahasa yang dipakai pun haruslah berbeda.
Melalui tulisannya, akademisi memberikan masukan kepada pembaca. Masyarakat mengharapkan masukan-masukan itu untuk bisa dijadikan dasar dan landasan berpijak dalam kehidupan. Caranya, tentu saja melalui publikasi buah pikiran kalangan akademisi melalui media, baik tulisan ataupun lisan.
Media yang paling bisa dipercaya menyalurkan hasil pemikiran akademisi adalah tulisan. Entah itu melalui jurnal, buku, ataupun media populer.
Tanpa itu, maka ‘pengetahuan dan pemikiran ilmiah hanya mengendap di kalangan sendiri. Terkungkung bagai makanan di lemari. Berbeda jika makanan itu disajikan, tentu akan menarik minat orang untuk menikmatinya.







Pikiran, tenaga, dana yang digunakan dan dihabiskan kalangan akademisi tentunya tak sedikit. Akan sia-sia kalau hasil yang mestinya bisa dimanfaatkan itu ternyata hanya mengendap dan ‘nyangkut’ di tataran terbatas.
Jurnal, bisa dijadikan media bagi akademisi menuangkan pikirannya. Tetapi, tentu saja lingkupnya terbatas. Media massa, memberikan peluang bagi akademisi untuk menyampaikan buah pikiran lebih luas. Banyak media massa yang memberikan peluang itu. Baik itu majalah, surat kabar harian, ataupun mingguan, termasuk tabloid.
“Tulisan di media massa tentang bidang yang kita kuasai, sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat Indonesia masih haus pengetahuan dari orang yang memang menguasai bidang itu. Keterbatasan wartawan terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan adalah hal yang wajar,” tulis Rizaldi Pinzon, dosen Universitas Gunadarma yang aktif menulis di berbagai media.
Untuk itulah para akademisi atau ilmuwan harus sering-sering ”turun ke bumi”. Jangan hanya menulis di seminar ilmiah atau jurnal ilmiah. Tapi juga harus menulis ke media massa yang dibaca masyarakat umum. Memang terkadang kurang bergengsi bagi seorang ilmuwan-akademisi menulis di majalah populer. Terasa lebih keren kalau menulis di seminar ilmiah.
Padahal, tidak sedikit kemudian, para penulis akademis justru bisa menjadi memiliki kum dibanding rekan-rekan mereka yang hanya menyimpan hasil penelitian dan pemikirannya dalam laptop mereka atau buku-buku yang mereka cetak.

Masih Sedikit
Sayangnya, memang jumlah mereka ini masih sangat sedikit. Artinya, memang tradisi menulis belum menjadi bagian yang harusnya menjadi kewajiban. Banyak kalangan akademisi masih belum bersedia dan tidak mau mencoba membagi kemampuannya untuk kepentingan yang lebih luas.
Sekadar ilustrasi saja, di Sumsel sedikitnya ada empat media harian yang menyediakan space untuk kalangan akademis menuangkan dan menyumbangkan pemikiran dalam memecahkan berbagai persoalan yang aktual. Sesuai dengan cabang ilmu dan keahliannya.
Sebut saja, Sriwijaya Post, Sumatera Ekspres, Berita Pagi, Palembang Ekspres. Belum lagi media yang terbitnya mingguan seperti Tabloid Desa atau Agung Post.
Fakta yang ada, menurut Pimpinan Redaksi Sumatera Ekspres, H Mahmud, dalam sebulan tulisan yang masuk ke redaksi dibawah angka 20 tulisan. Itupun terkadang masih harus dikembalikan dan dikontak ulang untuk mendapatkan tulisan yang layak muat. Memang, diakuinya, tulisan ilmiah populer tentu saja berbeda dengan tulisan ilmiah tok. Tulisan ilmiah populer merupakan upaya bagaimana menjadikan kajian ilmiah disajikan dengan bahasa yang menarik dan mudah dipahami.
Hal yang sama dikemukakan Redaktur Pelaksana Berita Pagi, Firdaus Komar. Justru terkadang tulisan yang masuk banyak dari kalangan di luar akademisi.
Jika dinilai memadai, dalam arti ada persoalan yang aktual, pembahasan jelas dan memberikan jalan keluar, tulisan itu dimuat. Apalagi, media memang terkadang tidak melihat siapa yang menulis, Tetapi, apa yang ditulis. Terkadang justru penulis otodidak memang bahasanya dan analisisnya mungkin saja tidak kalah dengan mereka yang datang dari kalangan akademisi.
Meskipun sesungguhnya, kalangan akademisi justru punya potensi untuk menghasilkan tulisan yang bernas. Tinggal memolesnya supaya lebih menarik dan memberikan aroma yang indah.
Hitung saja, berapa jumlah akademisi dari puluhan perguruan tinggi di Sumatera Selatan. Lalu, bandingkan dengan nama-nama yang kemudian sering muncul di media massa. Sesungguhnya akademisi itu tidak hanya kalangan dosen, tetapi mahasiswa yang sedang menuntut ilmu pun, baik di strata satu maupun strata 2 juga merupakan akademisi. Yang bisa memberikan jalan alternatif terhadap berbagai persoalan masyarakat.
Contoh saja, persoalan menyangkut bahasa Indonesia. Bagaimana bisa mengharapkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kalau tulisan tentang bahasa Indonesia sendiri amat jarang didapatkan di media massa. Sesungguhnya, dari media massa masyarakat biasanya akan mudah menyerap masukan tentang persoalan yang dihadapi. Kaidah-kaidah bahasa yang dilanggar, lalu bagaimana alternatif penggunaan yanfg semestinya, tentunya tidak akan bisa dengan mudah didapatkan masyarakat dari buku-buku yang biasanya harganya mahal dan hanya menjadi hiasan rak-rak toko buku.

Profesor Populer
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH (78), guru besar sosiologi hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, salah satu akademisi yang percaya bahwa menulis karya ilmiah populer di suratkabar tidak kalah pentingnya dengan menulis di jurnal ilmiah atau buku. Ia pun membuktikannya dengan kesetiaan mendalami selama 33 tahun menulis artikel di berbagai suratkabar.
“Saya tidak bisa menulis lagi soal hukum Indonesia, karena tidak bisa mencium aromanya. Aroma itu saya baca dari tulisan-tulisan Anda,” tutur Pak Tjip, mengutip Prof Lev, seorang pengamat Indonesia dari Amerika Serikat yang tidak bisa masuk ke Indonesia di era Soeharto, seperti dikutip dari Kompas Selasa (24/6/2007). “Aroma” itulah, kata Pak Tjip, yang membedakan tulisan ilmiah populer dengan tulisan ilmiah murni di jurnal atau buku.
Pokok pikiran yang hanya tiga-empat baris di tulisan ilmiah murni, bisa menjadi 10 baris di tulisan ilmiah populer. Dengan menulis di surat kabar, akademisi bisa membagi pengetahuannya ke publik yang luas, tidak terbatas seperti pada jurnal ilmiah.
Dengan kemampuannya membuat tulisan ilmiah populer di suratkabar itu Pak Tjip membuktikan, ilmu hukum bukanlah ilmu yang kering dan tidak menarik. Hukum kalau ditulis dari sisi teknis memang tidak menarik, tetapi kalau dilihat dalam hubungan dengan masyarakatnya, hal itu tidak akan ada habis-habisnya. Berbagai macam ide segar menyangkut bidang yang ditekuninya itu ditumpahkannya pula dalam artikel-artikelnya.
Ia bahkan, seperti ditulis Kompas, masih menyimpan dengan rapi tulisan-tulisan artikelnya yang dimuat di harian ini. Ketika ditanya artikel pertamanya di Kompas, ia langsung menunjukkannya.
Selaku Ketua Pusat Studi Hukum dan Masyarakat FH Undip ia menulis artikel “Menyongsong Simposium Hukum dalam Masa Transisi”, yang dimuat 11 Januari 1975. Honor tulisan waktu itu Rp 5.000.
Tulisan itu berisi pemikiran pengantar atas rencana Simposium “Kesadaran Hukum Masyarakat yang sedang Dalam Masa Transisi” 10-22 Januari, kerja sama Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Undip. Itulah artikel yang ditulisnya pertama kali untuk media massa dan langsung dimuat tanpa terlalu editing berarti dari editor opini.
Sejak itu, tulisan demi tulisan meluncur dari pikiran dan ketikan tangannya sendiri. Tahun 1975 itu ia menulis 34 artikel. Namun jumlahnya agak menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1979, misalnya, hanya lima artikel yang ditulisnya untuk Kompas. “Tahun 1975 itu saya lagi seneng-seneng-nya,” ujar alumnus FH Universitas Indonesia tahun 1960 dan doktor hukum Undip tahun 1979 itu.
Hingga sekarang, paling tidak yang tercatat di database Pusat Informasi Kompas dan catatan Pak Tjip, sudah 367 artikel yang ditulisnya. Artikel yang terakhir dimuat Kompas adalah “Kini Saatnya Memunculkan Ketertiban” pada 23 Juni 2008.

Ibarat Buang Air Kecil
Minat terhadap urusan tulis-menulis ini, kata dia, dimulai saat duduk di SMP Pati, Jawa Tengah, tahun 1944-1947. Saat itu suka membuat tulisan tangan di buku tulisnya tentang segala hal yang sedang aktual kala itu. Di buku tulis itu juga ditempel foto-foto, sehingga mirip majalah. “Buku itu laku di kalangan teman-teman saya di sekolah,” tutur pria kelahiran Banyumas 15 Desember 1930 itu seperti dikutip dari Kompas.

Namun, talenta masa kecil itu baru diwujudkan secara serius tahun 1975 saat pertama kali menulis di suratkabar. Mengenai proses kreatifnya, Pak Tjip, memberi ilustrasi, menulis itu seni. Seni itu artinya buang air kecil. Buang air kecil itu deskripsi paling rasional mengenai seni.
Perasaan terasa lega mencuat ketika buang air kecil telah dilakukan. “Menulis seperti itu. Seni itu di atas logika. Logika tulisan akan jalan dengan sendirinya, sudah membaku di kepala,” katanya.
Dengan metode itu, ketika ada isu tertentu menyangkut hukum, ia segera meresponsnya dengan mengasah kemampuan intelektualnya. Buku-buku referensi juga digunakannya jika diperlukan. Karena itu ratusan judul buku tersedia di perpustakaan pribadinya di rumahnya. Walaupun sendirian menulis di perpustakaan itu, Pak Tjip selalu membayangkan sedang berbicara dengan orang banyak.
Di ruang itulah, di depan komputer, Pak Tjip mengetik idenya. Waktunya tidak tentu, kadang bisa dua-tiga jam, tetapi juga bisa dua-tiga minggu. Terlebih belakangan ini, sejak pensiun tahun 2000, ia lebih banyak mengendapkan dulu pemikiran sebelum ditulis. “Mungkin karena umur, saya membutuhkan kontemplasi dulu,” katanya.
Di antara tumpukan buku-buku itu, termasuk sejumlah buku karyanya sendiri. Selain buku kumpulan tulisan artikel, beberapa buku memang khusus dibuat dengan ide orisinal. Buku Ilmu Hukum, terbitan Penerbit Alumni, misalnya, yang menjadi buku teks mahasiswa hukum, telah dicetak enam kali. Buku terbarunya akhir tahun 2007 lalu adalah Biarkan Hukum Mengalir terbitan Penerbit Buku Kompas. Buku itu juga sudah dicetak ulang.
Pada usia 78 tahun ini, dengan empat anak, 14 cucu, dan satu buyut, Pak Tjip mengatakan masih banyak ide di kepalanya yang belum dituliskan. Itulah kegiatannya sekarang, latihan intelektual, membaca, dan menulis. Saat ditanya karya buku apa yang paling memuaskannya, Pak Tjip mengatakan, “Masih di kepala saya”. Apa yang dilakukan Pak Tjip ini seharusnya ditiru oleh para penulis muda. Fakta ini tentu harus menjadi perbandingan bagi kita. Bagi kalangan akademisi.

Dikenal
Kata-kata “saya berpikir, maka saya ada” atau yang dikenal dengan “Cogito ergo sum” merupakan ungkapan filsuf terkenal Rene Descrates. Ungkapan yang dinyatakan oleh Rene Descrates ratusan tahun yang lalu telah mengubah dunia. Paradigma baru yang memberikan warna perubahan bagi pemikiran bangsa Eropa menuju modernisasi. Seseorang akan dikenal karena buah-buah pemikirannya.
Ratusan tahun setelah Rene Descrates, ungkapan tersebut mungkin lebih tepat bila sedikit diganti menjadi “saya menulis, maka saya ada”. Ratusan tahun setelah Rene Descrates, proses berpikir lebih banyak diungkapkan dalam bahasa ekspresif. Seseorang akan dikenal dengan tulisan-tulisannya. Budaya membaca dan menulis telah menggantikan budaya lisan beberapa dekade yang lalu, dan teknologi informasi memungkinkan proses tersebut berlanjut terus.
Menulis merupakan proses yang kompleks, dan melibatkan sedemikian banyak bagian otak. Otak kiri bekerja dengan melibatkan bagian temporal untuk memori, bagian occipital untuk proses visual, dan bagian frontal untuk proses menulis. Bagian otak kanan akan memberikan sentuhan perasaan pada proses menulis. Pekerjaan yang sedemikian kompleks dan melibatkan berbagai bagian otak yang reseptif, dan kemudian diekspresikan oleh bagian frontal di otak kiri untuk diteruskan ke lengan.
Sebuah tulisan merupakan ungkapan ekspresi non lisan. Tulisan memiliki keuntungan sebagai budaya ekspresi yang lebih nyata, lebih obyektif, dan cenderung tidak bias. Sebuah pesan berantai yang disampaikan secara lisan akan banyak terancam bias. Sebuah tulisan akan diinterpretasikan dengan hampir sama oleh para pembacanya, kecuali pada bagian-bagian yang mengandung makan siratan.
Proses menulis pada mulanya dipandang sebagai proses yang sukar. Untuk menyusun satu kalimat atau alinea awal merupakan kerja keras tersendiri. Semua orang yang pernah duduk di Sekolah Dasar di negeri kita pasti mengalaminya. Hal ini terutama karena ada tekanan bahwa sebuah tulisan haruslah “sempurna”. Hal tersebut tiada berlaku lagi saat ini, sekarang proses “tulis-menulis” adalah hak setiap orang. Proses menulis saat ini bukanlah lagi merupakan hak segelintir kaum terpelajar sebagaimana zaman dahulu. Seorang ibu rumahtangga, seorang pelajar SMP, dan siapapun juga bisa dan boleh menulis.
Pengakuan Diri
Bagi para akademisi, peneliti, dan praktisi, dunia menulis merupakan hal yang sangat mutlak. Seorang akademisi membutuhkan tulisan atas namanya untuk dapat mencapai jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Seorang peneliti akan sangat bangga bila hasil penelitiannya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah yang bereputasi. Penelitian yang sangat bagus sekalipun tidak akan berguna bila tidak dipublikasikan. Sebuah kebanggaan bagi seorang akademisi dan praktisi bila tulisannya dibaca oleh banyak orang.
Sebuah tulisan merupakan bukti obyektif yang menggambarkan kiprah seseorang dalam bidangnya. Seorang pakar kesehatan akan dinilai sebagai ahli dari kuantitas dan kualitas publikasi ilmiahnya. Seseorang akan dikenang oleh tulisan-tulisannya. Seorang Soe Hok Gie sedemikian dikenang akibat tulisannya “Catatan Seorang Demonstran”. Seorang JK Rowling berubah nasib 180 derajat akibat tulisannya tentang seorang tukang sihir cilik bernama Harry Potter. Seorang Iip Wijayanto menuai kritik dan protes akibat tulisannya tentang keperawanan di Yogyakarta. Sedemikian hebat sebuah tulisan mampu mengubah nasib seseorang.
Aktualisasi diri
Saat ini tulisan telah berevolusi menjadi bentuk aktualisasi diri. Beberapa tahun yang lalu, seseorang harus bersaing dengan sedemikian banyak orang agar tulisannya (opini, cerpen, cerita fiksi lainnya) dimuat di suatu media cetak. Banyak tulisan yang baik tidak dapat dibaca oleh banyak orang karena alasan keterbatasan tempat di media cetak. Banyak tulisan menarik yang harus dikembalikan oleh dewan redaksi kepada pengarangnya dengan alasan seseorang lain telah mengisi kolom yang tersedia. Saat ini kemajuan teknologi informasi telah menghapus berbagai keterbatasan tersebut.
Kebutuhan akan aktualisasi diri telah terisi dengan kemajuan dibidang teknologi informasi. Buku harian saat ini pun dapat dipublikasikan. Semua orang dapat mempublikasikan karyanya kapan saja. Seorang penulis tidak perlu menunggu dengan ketidakpastian tentang karyanya akan dimuat atau tidak di media massa. Berbagai redaksi media cetak pun seringkali tidak memberikan konfirmasi apakah sebuah karya akan dimuat atau tidak. Seorang penulis yang mengirimkan karyanya akan menunggu dengan perasaan was-was. Cerita diatas merupakan kisah lalu. Saat ini hal tersebut tiada lagi berlaku.
Blog dan website telah mengatasi hal tersebut. Tulisan yang dibuat hari ini pun dapat ditampilkan secara online hari ini juga. Jangkauan teknologi memungkinkan orang yang terpisah jarak ribuan kilometer untuk segera membaca tulisan yang dipublikasikan pada saat yang sama.
Data menunjukkan bahwa setiap harinya di seluruh dunia muncul 75 ribu blogger. Hal tersebut menunjukkan bahwa menulis sudah merupakan kebutuhan. Dunia tulis menulis tidak bisa lagi dibatasi oleh tenggat waktu terbit, sempitnya kolom, terbatasnya jumlah media massa. Dunia tulis menulis telah merambah luas. Menulis blog merupakan ungkapan aktualisasi diri. Blog merupakan suara kebebasan. Semua orang boleh menulis tentang tema apapun, dengan konsekuanesi bahwa tulisannya dapat dibaca oleh siapapun di muka bumi ini. Si penulis pun harus bersiap untuk segala kritik dan tanggapan tentang tulisannya.
Seorang blogger yang mulanya bukan siapa-siapa, dapat menjadi selebriti karena tulisannya dibaca oleh sedemikian banyak orang. Tulisan yang menarik akan memicu sebuah diskusi yang bisa diikuti oleh ribuan orang yang dipisahkan oleh jarak dan lautan. Sebuah blog bisa menjadi ajang gosip, info terbaru, diskusi, bahkan mencari pemasukan tambahan.

Menulis Cepat
Menulis ilmiah populer memang berbeda dengan menulis ilmiah. Menulis ilmiah populer sama saja denga menulis cepat. Beberapa penulis, bsia menyelesaikan tulisannya dalam waktu singkat. Mereka menulis berdasarkan mood, dan tidak akan berhenti manakala, ada keinginan untuk menulis.
Para akademisi yang terbiasa menulis dengan menyertakan kutipan dan catatan kaki akan sangat tidak setuju dengan jurus yang satu ini. Bagaimana bisa mereka dipaksa untuk mengabaikan sementara pakem tulisan ilmiah yang selama ini menjadi paradigma berpikir mereka? Jika anda adalah penyibuk yang bisa meluangkan waktu banyak, tak apalah mengikuti cara-cara penulisan ilmiah yang sangat ketat. Tapi untuk menulis efektif dan efisien, cara tersebut tersebut kurang mendukung. Cara itu bisa membuat anda disibukkan dengan urusan membolak-balik literatur, mengecek keakuratan sebuah teori, konsep, atau proposisi, yang bisa mengganggu mood dan memperpanjang waktu menulis.
Karena itulah, jangan heran jika kebanyakan akademisi kita produktif menulis artikel kolom, opini, atau esai refleksi yang lebih instan sifatnya. Namun, hanya sedikit dari mereka yang mampu menulis buku dengan pendekatan ilmiah yang sangat ketat. Kalau pun menulis buku, tak sedikit yang berbentuk kumpulan tulisan pendek yang pernah dimuat di media masa. Seperti ditegaskan sebelumnya, ini tak masalah, bahkan bisa diajukan sebagai alternatif. Namun dari fakta ini saja tergambar, pendekatan akademis tak akan membantu anda dalam menulis cepat.
Ada fakta menarik yang dicatat Museum Rekor Indonesia (MURI) Februari 2002 lalu. Profesor Dr. F.G. Winarno, Guru Besar IPB berusia 64 tahun, mampu menulis 50 judul buku hanya dalam waktu 4 bulan, atau per judul buku diselesaikannya rata-rata dalam 2,5 hari! Guru Besar ini menumbangkan rekor Drs. Sunarto yang "hanya" mampu menulis 20 judul buku dalam waktu yang sama.
Asal tahu saja, Winarno berulang-ulang memperoleh penghargaan dalam berbagai lomba penulisan dan penelitian. Salah satunya, Award Follow International Academy Of Food Science and Technology yang merupakan pengukuhan dirinya sebagai ahli pangan terkemuka di dunia (4 Oktober 1999). Winarno adalah orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan bergengsi tersebut. Dalam merampungkan 50 judul buku tadi, silakan kita jawab sendiri, Winarno menggunakan metode menulis cepat, ataukah metode ilmiah yang sangat ketat.
Demikianlah, perihal pentingnya akademisi mengasah dan mengembangkan keterampilan menulis. Banyak pilihan media, tak sedikit alasan dan latar belakang untk itu, serta ada beberapa alternatif teknik mengembangkanya. Kembali kepada kalangan akademisi itu sendiri untuk menentukan pilihan. Eksistensinya sesungguhnya ditentukan oleh tulisannya yang memuat pemikiranya yang kemudian bisa bermanfaat bagi masyarakat melalui tulisan ilmiah populer.

Palembang, Juli 2008

Muhamad Nasir
Dosen Universitas PGRI Palembang dan Mahasiswa Pascsarjana Universitas PGRI Palembang.
*Makalah dalam Seminar Nasional Bahasa Indonesia di Pasca Sarjana Universitas PGRI Palembang, dengan tema, “Aktualisasi Literasi Kaum Intelektual yang Berwawasan Iptek dan Imtaq Terpadu”, Palembang 19 Juli 2008.
Daftar Pustaka

Badariah, Rini Nurul. Akademisi dan Publikasi Populer. groups.yahoo.com/group/LayarKata-Network

Kartawijaya, Budhiana. Materi Pelatihan Opini. 2007. Jakarta: Balai Pelatihan Komunikatif.

“Profesor Populer itu Mengabdi Penuh untuk Dunianya”.Kompas, Selasa (24/6/2007).

Rizaldi Pinzon. “Dosen atau Jurnalis”. Blogg.spot.com.

Semi, M Atar. 2005. Teknik Penulisan Berita, Features, dan Artikel. Bandung: Mugantara.

Slamet, ST Y. 2007. Dasar-Dasat Keterampilan Berbahasa Indonesia. Surakarta: LPP UNS.

Zaqeus, Edy. “Jurus Jitu Menulis Buku untuk Orang Sibuk”. Halaman opini. www.sinarharapan.co.id.